Beberapa contoh khotbah Jum'at



“Perbaikilah sholat anda”
                                            
Allah berfirman ,
 “Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.” (QS. Al-   Baqarah: 153)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Bilal Radiyallahu ‘Anhu,
‘‘Bangkitlah hai Bilal, hiburlah kami dengan Shalat.’’ (HR.Ahmad, 5/371, dan Abu Daud, 4986)

Shalat adalah komunikasi antara hamba dengan tuannya. Berdiri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam shalat memiliki efek yang sangat besar dalam memperbaiki jiwa manusia, bahkan seluruh masyarakat manusia.

Hanya, shalat seperti apakah yang dapat mempererat hubungan komunikasi antara makhluk dan penciptanya? Shalat seperti apakah yang dapat memberikan efek yang positif di dalam diri pelakunya, sehingga dapat mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar, dan bisa membantunya dalam urusan agama dan dunianya; mendorongnya untuk melaksanakan kewajiban dan menjauhi hal-hal yang diharamkan dan dimakruhkan? Apakah itu shalat jasmani tanpa ruh, badan tanpa hati, gerakan tanpa kekhusyukan, bentuk tanpa esensi, kata-kata tanpa makna? Bukan! Sama sekali bukan! Tetapi shalat Syar’iyah Nabawiyah yang dilaksanakan menurut rambu-rambu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Sesungguhnya shalat yang diserukan Islam merupakan mi’raj ruhani bagi seorang mukmin. Karena ruhnya bisa membawanya mi’raj (naik ke langit) setiap kali ia melaksanakan shalat kepada Allah, baik shalat fardlu maupun shalat sunnah. Ruhnya mengajaknya pindah dari alam materi menuju alam yang tinggi, jernih, suci dan bersih. Di situlah sumber kebahagiaan dan ketenteraman.”

Setiap muslim pasti mengetahui kedudukan shalat di dalam agama dan syariat Allah. Karena shalat adalah tiang agama Islam dan garis pemisah antara kufur dan iman. Posisi shalat dalam Islam seperti posisi kepala bagi tubuh. Bila manusia tidak bisa hidup tanpa kepala, begitu pula agama tidak bisa wujud tanpa shalat. Nash-nash syariat yang menerangkan hal itu sangat banyak. Jika masalahnya sedemikian penting dan krusial maka satu hal yang sangat menyesakkan dada dan menyakitkan hati ialah bahwa di antara orang-orang yang mengaku Islam masih ada orang-orang yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin, tetapi meremehkan dan menyepelekan shalat. Bahkan terkadang lebih parah dari itu.
Akankah mereka berhenti bersikap seperti itu sebelum mereka ditimpa murka Allah, dikepung azab Allah, atau dijemput maut?
Saudara-saudaraku yang rajin shalat! Berbahagialah dengan shalat. Bergembiralah bila Allah melapangkan dada Anda untuk melaksanakan kewajiban yang agung ini. Selamat buat Anda yang akan menerima balasan dan anugerah dari Allah, baik di dunia maupun di Akhirat. Karena Anda telah melaksanakan kewajiban agama yang agung ini.
Wahai orang-orang yang rajin shalat, ketahuilah bahwa shalat yang diterima oleh Allah harus memenuhi syarat-syarat, rukun-rukun, wajib-wajib, dan adab-adab tertentu. Di samping itu, banyak masalah penting dan kesalahan yang berkembang luas seputar kewajiban ini yang harus diketahui dan dipraktikkan oleh orang-orang yang shalat. Di dalam Musnad Ahmad disebutkan,
“Orang yang paling buruk pencuriannya ialah orang yang mencuri sebagian dari shalatnya.” (Al-Musnad, 5/310)
Yang dimaksud dengan mencuri di dalam shalat ialah tidak menyempurnakan rukuknya, sujudnya dan khusyuknya.
Dan ada pula riwayat yang menyebutkan, bahwa orang yang selesai shalat akan dicatat dari shalatnya sebesar 25 persen, atau 20 persen, hingga 10 persen saja. (HR. Ahmad, 4/321 dan Abu Daud, 796)
Ini mengajak setiap muslim yang melaksanakan shalat agar memperhatikan urusan shalatnya, supaya ia tidak kehilangan pahala dan mendapatkan siksa.
Berikut ini adalah hal-hal singkat yang perlu mendapat perhatian dalam masalah ini:
1. Bersuci secara lahir dan batin..
2. Menghadap kiblat.
3. Menutup aurat.
4. Memperhatikan kerapian shaf (barisan). Dalam riwayat yang shahih disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merapikan sendiri barisan-barisan yang ada. Ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa beliau bersikap keras kepada orang yang tidak memperhatikan hal itu. Dalam sebuah hadits Rasulullah Shalallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Kalian benar-benar merapikan barisan kalian, atau Allah benar-benar akan membuat wajah-wajah kalian berselisih.” (HR. Al-Bukhari, 717 dan Muslim, 436)

5. Inti shalat dan ruhnya adalah khusyuk. Allah berfirman,

 “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (QS. Al-Mukminun: 1-2)

”SAYANGILAH WANITA”
Isu wanita merupakan isu yang sangat penting dan pelik, serta perlu diangkat secara terus-menerus dan fokus. Karena isu ini telah dijadikan sebagai kendaraan dan target oleh musuh-musuh Islam. Melalui isu inilah mereka menyebarkan syubhat (keragu-raguan), kebatilan dan racun manakala banyak umat Islam yang lengah. Oleh karena itu supaya orang-orang awam tidak terpedaya oleh tipu daya mereka, maka setiap muslim sesuai dengan bidangnya masing-masing harus peduli pada isu ini dan harus bisa menjelaskan bagaimana jalan Islam dalam masalah ini. Hal itu untuk membuktikan kepada seluruh dunia bahwa alhamdulillah kita masih memahami urusan agama kita dengan baik. Dan juga untuk menunjukkan kepada mereka bahwa gadis-gadis kita yang terpelihara masih bangga dengan keislamannya, masih memegang teguh agamanya, dan tidak dipusingkan dengan bualan orang-orang yang memusuhi akhlak-akhlak, nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang luhur. Lebih-lebih bagi kita yang hidup di tanah suci, di mana kaum wanita masih memegang teguh jalan Islam yang benar. Bahkan kaum wanita di sini menjadi prihal yang sitimewa, lain daripada yang lain, dan memiliki peradaban yang sangat mencolok di saat wanita pada umumnya tengah menghadapi gelombang fitnah yang datang bertubi-tubi. Hal itu tidak lain karena para pemimpinnya masih memegang teguh ajaran-ajaran Islam dan mendukung pelarangan terhadap hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam, seperti berpakaian seronok, membuka aurat, bergaul bebas dengan lawan jenis dan lain-lain,
Di sini ada satu hal penting yang perlu diingatkan, bahwa wanita muslimah yang datang ke rumah Allah terutama Masjidil Haram dan Masjid Nabawi harus bisa menjadi contoh dan teladan dalam menjaga kehormatan diri, sopan santun, menutup aurat dan memakai hijab syar’i yang menutupi wajah dan seluruh badannya. Ini dalam rangka mengamalkan nahs-nash yang shahih dan sharih dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia juga harus menghindari berdesak-desakan dengan laki-laki dan tidak mengganggu mereka dengan aroma parfum yang harum, pakaian yang indah dan perhiasan yang mewah, agar ia mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.





Mulia Karena Lisan yang Terjaga”
Allah Ta’ala berfirman,
 “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaf: 18).
Sesungguhnya lisan merupakan salah satu nikmat Allah yang amat besar dan salah satu ciptaan Allah yang menakjubkan. Bentuknya kecil, namun perannya besar dalam ketaatan dan kemaksiatan. Bahkan kekufuran dan keimanan tidak bisa diketahui dengan jelas kecuali dengan persaksian lisan, padahal keduanya merupakan puncak dari ketaatan dan kemaksiatan.
          Lisan adalah raja atas semua anggota tubuh. Semua tunduk dan patuh kepadanya. Jika ia lurus, niscaya semua anggota tubuh ikut lurus. Jika ia bengkok, maka bengkoklah semua anggota tubuh.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
 “Apabila anak cucu Adam masuk waktu pagi hari, maka seluruh anggota badan tunduk kepada lisan, seraya berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah dalam menjaga hak-hak kami, karena kami mengikutimu, apabila kamu lurus, maka kami pun lurus, dan apabila kamu bengkok, maka kami pun bengkok’.” (HR. at-Tirmidzi dan Ahmad).
Seorang manusia bisa masuk surga disebabkan lisannya. Apabila benar lisannya, maka dia akan mendapatkan pahala, dan sebaliknya bila salah maka dia mendapatkan dosa. Lisan manusia bisa mewujudkan dzikir, tasbih, dan tahlil, atau membaca al-Qur`an, atau ucapan amar ma’ruf nahi munkar, berbuat baik kepada manusia, dan mengajak mereka kepada kebaikan. Lisan adalah salah satu nikmat Allah jika dipergunakan oleh hamba untuk kebaikan, petunjuk, dan keshalihan.
Lisan memang senang mengembara ke tempat yang tak bertujuan, lahannya luas tiada terbatas dan bertepi. Ia memiliki peran yang besar di dalam lahan kebajikan, dan juga di dalam keburukan. Maka barangsiapa yang mengumbar lisannya dengan bebas dan tidak mau mengendalikannya, maka setan akan menggiringnya ke dalam segala sesuatu yang dia ucapkan. Lalu menyeretnya ke jurang kehancuran, dan selanjutnya jatuh ke dalam kebinasaan.Tidak seorang pun dapat selamat dari tergelincirnya lisan kecuali orang yang mau mengendalikannya dengan tali kekang syariat, sehingga lisannya tidak mengucapkan kecuali sesuatu yang memberi manfaat di dunia dan akhirat. Ketika Aisyah berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
 
“Cukuplah bagi Anda bahwa Shafiyah itu orangnya begini, begini.” Maksudnya tubuhnya     pendek. Maka Nabi bersabda kepadanya, “Engkau telah mengucapkan suatu perkataan yang bila dicampur dengan air laut niscaya dia akan merubahnya.” (HR. Abu Dawud).
Imam an-Nawawi yang wafat pada tahun 676 H. berkata, “Ketahuilah bahwa setiap mukallaf harus menjaga lisannya dari semua perkataan kecuali perkataan yang maslahat di dalamnya telah jelas. Dan ketika perkataan itu mubah, sedangkan dalam meninggalkannya terdapat maslahat maka disunnahkan untuk menahan diri darinya. Karena terkadang perkataan yang mubah akan terseret menuju keharaman atau kemakruhan, bahkan ini menjadi hal yang umum di dalam adat kebiasaan, sedangkan keselamatan maka tidak ada sesuatu pun yang menyamainya.”


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
 “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia berkata baik atau diam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Saya berkata, “Hadits yang disepakati keshahihannya ini merupakan nash yang sharih, bahwasanya tidak seharusnya seseorang berbicara melainkan apabila perkataan tersebut baik, yaitu yang tampak jelas maslahatnya, dan ketika ragu tentang kejelasan maslahatnya, maka janganlah berbicara.”
Al-Imam asy-Syafi’i berkata, “Apabila seseorang ingin berbicara, maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara, apabila telah jelas maslahatnya, maka dia berbicara, dan apabila ragu-ragu, maka dia tidak berbicara sampai jelas maslahatnya.” Al-Imam asy-Syafi’i juga pernah berpesan kepada muridnya ar-Rabi’, “Wahai ar-Rabi’, janganlah kamu berbicara tentang perkara yang tidak penting bagimu, karena apabila kamu berbicara satu kata, maka ia akan memilikimu, sedangkan kamu tidak dapat memilikinya.”
Dan kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari: Dari Sahal bin Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu, dari


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,.
“Barangsiapa yang memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) kejahatan lisan yang berada di antara dua tulang rahangnya, dan kejahatan kemaluan yang berada di antara kedua kakinya, niscaya aku akan memberikan jaminan surga kepadanya.” (HR. al-Bukhari).


“SYARAT AMAL DITERIMA”
Kita telah mengetahui, bahwa Allah memerintahkan kepada kita untuk beribadah kepada-Nya. Setelah itu Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membalas pahala amal ibadah, sesuai dengan tingkatannya. Namun, kita perlu menyadari, bahwa amal ibadah kita, tidak semua akan diterima. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Jika amal seseorang telah memenuhi persayaratan itu, berarti amalnya akan diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan jika kurang, maka akan ditolak. Sebagai seorang muslim yang menghendaki agar amal ibadahnya diterima dan mendapatkan ganjaran dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk mengetahui dan selanjutnya memenuhi persyaratan itu. Sebab, apalah artinya amal banyak, namun tidak mendatangkan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala?! Bahkan justru sebaliknya, menyebabkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sia-sialah kita dalam beramal, kalau pada akhirnya akan ditolak dan dikembalikan kepada kita.
Dalam Alquran Surat Al-Furqan, Allah telah berfirman,
 Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
Ibnu Katsir menjelaskan, ini merupakan kejadian pada hari kiamat. Yaitu pada saat amal-amal dihisab oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Melalui surat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan, bahwasanya amalan-amalan orang kafir dan musyrik tidak menghasilkan apa-apa, berapa pun banyaknya. Karena amalan-amalan mereka itu tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Belum cukupkah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut mendorong kita untuk mempelajari syarat diterimanya amal?
Amal ibadah akan diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala, jika memenuhi dua syarat. Pertama, Ikhlas. Artinya, beribadah hanya kepada-Nya saja dan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Sesungguhnya Allah tidak menerima satu amalan, kecuali amalan yang diikhlaskan untuk-Nya dan untuk mencari wajah-Nya.” (HR. An-Nasa’i)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
 Sesunguhnya amal itu tergantung niatnya.”
Dalam hadis lain,
Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan amal-amal kalian.” (HR. Muslim)
Masalah keikhlasan ini berkaitan dengan hati. Dan masalah hati tidak bisa dipisahkan dengan niat. Perkara ini terkadang banyak diremehkan oleh manusia, sehingga merasa tidak perlu lagi mengoreksi hati. Tidakkah kita mengetahui, bahwa masalah ini dianggap besar oleh para ulama salaf? Tengoklah yang dikatakan oleh Sufyan Tsauri, “Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat daripada niatku. Karena dia berbolak-balik.”
Itulah pandangan ulama salaf dalam masalah hati. Masalah hati sangat mereka perhatikan ketika beramal. Sehingga dalam sejarah perjalanan hidup mereka, kita mendapati berbagai macam usaha yang mereka lakukan untuk menjaganya, dan menutup pintu masuk setan yang hendak membelokkannya. Ingatlah, setan merupakan musuh orang-orang beriman. Dia tidak akan pernah tinggal diam. Dia akan selalu berusaha dengan segala cara untuk menggoda manusia, sehingga rusaklah amal.
Syarat kedua agar diterimanya amal seseorang, ialah ittiba. Artinya, amal ibadah itu harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliaulah utusan Allah yang diperintahkan untuk menyampaikan risalah-Nya. Sebagai utusan-Nya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan manusia yang paling mengetahui tentang risalah-Nya. Dan semuanya sudah disampaikan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka sudah seharusnya kaum muslimin mengikuti beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman,
 Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)
Demikian itulah dua syarat yang disimpulkan oleh para ulama dari banyak dalil, baik dari Alquran maupun sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedua syarat inilah yang akan menentukan amal kita diterima ataukah ditolak. Jika salah satunya tidak terpenuhi, maka tidak akan diterima. Jika persyaratan yang tidak terpenuhi itu syarat yang pertama, maka si pelaku bisa terjerembab ke dalam lembah kesyirikan, wal’iyadzubillah. Sedangkan jika yang tidak terpenuhi itu syarat yang kedua, maka si pelaku masuk ke dalam perbuatan bid’ah yang sesat.











“KIAMAT SUDAH DEKAT”
Salah satu prinsip keimanan yang sangat pokok dalam agama Islam adalah beriman kepada Hari Akhir atau Hari Kiamat. Iman kepada Hari Kiamat sebagaimana kita ketahui merupakan salah satu rukun iman yang enam. Keimanan kepada Hari Akhir dan kebangkitan ini merupakan salah satu hal yang banyak ditolak oleh kaum kafir. Adapun kita kaum muslimin, tanpa ragu sedikit pun kita beriman bahwa Hari Kiamat pasti akan tiba dan terjadi. Kita beriman kepada Allah, kita beriman kepada Rasulullah, kita beriman kepada seluruh perkara gaib yang telah diberitahukan wahyu, baik melalui kalamullah maupun melalui lisan Rasul-Nya yang mulia.
Hari Kiamat merupakan salah satu perkara gaib yang telah dijelaskan secara gamblang, baik dalam ayat Alquran maupun sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini juga merupakan kesepakatan seluruh seluruh sahabat, ulama, dan kaum muslimin. Maka sangat jelas bagi kita semua bahwa Hari Akhir ini apsti akan terjadi tanpa ada keraguan sedikit pun, dan tidak ada yang meragukan atau menentangnya kecuali orang-orang kafir, atheis yang berpaham materialis. Masalahnya sekarang, “Kapankah Kiamat itu akan tiba?” jamaah sekalian! Jawaban yang paling tepat untuk pertanyaan init idak lain adalah sebagaimana jawaban yang diberikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang-orang, ketika mereka bertanya tentang kapan terjadinya Hari Kiamat. Beliau mengatakan, “Ilmunya ada di sisi Allah” yakni ilmu tentang kapan terjadinya Kiamat hanyalah Allah yang mengetahui. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,
 Manusia bertanya kepadamu tentang Hari Kiamat. Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah.’ Dan tahukah kamu hai (Muhammad) boleh jadi Hari Kiamat itu sudah dekat waktunya.” (QS. Al-Ahzab: 63)
Meskipun kejadian Hari Kiamat adalah sesuatu yang gaib dan merupakan rahasia Allah, tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahukan kepada kita semua tentang tanda-tandanya. Dan kalau kita mau mencermati tanda-tanda Hari Kiamat tersebut, maka kita semua akan sepakat pada satu kesimpulan, yakni “Hari Kiamat Sudah Semakin Dekat.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim at-Tuwajiri di dalam kitabnya Mukhtashar al-Fiqh al-Islami menyebtukan tentang tanda-tanda Hari Kiamat dengan begitu sistematis. Beliau membagi tanda-tanda terjadinya Hari Kiamat menjadi dua bagian, yaitu “asyrathus sa’ah as-Sughra” yakni tanda-tanda kiamat yang kecil dan “asyrathus sa’ah al-kubra” yakni tanda-tanda kiamat yang besar yang menunjukkan sudah sangat dekatnya kiamat. Beliau lalu membagi tanda-tanda kiamat yang kecil menjadi tiga bagian:
Yang pertama yaitu tanda-tanda yang sudah terjadi dan telah berlalu, yaitu berupa terbelahnya rembulan sebagaimana disebutkan dalam surat al-Qamar, lalu diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus wafatnya beliau, kemudian penaklukan Baitul Maqdis dan keluarnya apai dari negeri Nejed.
Yang kedua: Tanda-tanda yang sedang terjadi dan masih terus berlangsung, di antaranya adalah tersebarnya fitnah (kekacauan dan kemungkaran), munculnya orang yang mengaku nabi, diangkatnya ilmu dan tersebarnya kebodohan, kezhaliman terjadi di sana-sini, meratanya alat-alat musik dan anggapan halal terhadapnya, zina merajalela, banyak orang meminum khamar, orang-orang melarat saling berlomba membangun rumah dan gedung, membangun masjid hanya untuk bermegah-megahan, banyak terjadi pembunuhan, kemudian waktu terasa pendek, banyak terjadi gempa bumi, pasar-pasar dan super market saling berdekatan, urusan tidak diserahkan kepada ahlinya, keburukan mendominasi, kesyirikan menyebar di tengah-tengah umat Islam. Juga banyak terjadi kebohongan, pemutusan silaturahim, pengkhianat justru mendapat kepercayaan, orang tidak peduli lagi halal-haram dalam mencari rezeki, dan juga banyak wantia-wanita yang berpakaian tetapi telanjang.
Inilah di antara tanda-tanda kiamat yang saat ini telah disebutkan di dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih, dan tentunya bukan melalui forum ini untuk menyebutkanny secara detail satu per satu. Yang jelas –jamaah sekalian- kita semua telah membuktikan sendiri bahwa apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkenaan dengan tanda-tanda terjadinya Hari Kiamat adalah benar adanya. Apa yang telah disebutkan di atas, kini telah menjadi fakta yang benar-benar terjadi pada masa ini, dan kita semua tidak mengingkarinya.
Yang ketiga adalah tanda Kiamat sughra yang belum terjadi dan akan terjadi, di antaranya yaitu: terjadinya penaklukan Konstantinopel dengan tanpa peperangan, kemudian kaum muslimin akan memerangi bangsa at-Turk, memerangi Yahudi hingga mendapat kemenangan, munculnya seorang laki-laki dari kabilah Qahthan yang mengajak manusia kepada ketaatan, lalu terjadi dominasi jumlah kaum wanita hingga seorang laki-laki berbanding dengan lima puluh wanita. Selain itu adalah munculnya al-Mahdi atau Imam Mahdi, lalu setelah itu akan terjadi penghancuran Ka’bah oleh seorang laki-laki dari Habasyah yang disebut dengan Dzu as-Sawiqatain, dan inilah akhir zaman yang menunjukkan sudah sangat dekatnya Hari Kiamat yang ditandai dengan munculnya tanda-tanda Kiamat Kubra.

“JANGAN PERNAH TINGGALKAN SHALAT”

Di zaman yang semakin dekat dengan hari akhir ini, kita menyaksikan suatu fenomena memprihatinkan yang menimpa kaum muslimin, yaitu sebuah realita banyaknya orang yang mengaku beragama Islam namun tidak memahami hakikat agama Islam yang dianutnya, bahkan tingkah laku keseharian mereka sangatlah jauh dari nilai-nilai Islam itu sendiri.
 Di antaranya adalah banyaknya kaum muslimin di masa sekarang yang mulai meremehkan dan menyia-nyiakan salat, bahkan tidak sedikit dari mereka yang berani meninggalkannya dengan sengaja dan terang-terangan. Padahal dalam Agama Islam, salat memiliki kedudukan yang tidak bisa ditandingi oleh ibadah lainnya. Keistimewaan tersebut tergambar dengan peristiwa isra’ dan mi’raj dimana Rasullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menerima wahyu perintah salat. Setelah beliau sampai di Sidratul Muntaha, Allah Subhanahu wa Ta’ala berbicara langsung kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Yang demikian itu menunjukkan bahwa betapa agung kedudukan ibadah salat dalam Islam, karena ia adalah tiang agama, di mana agama ini tidak akan tegak kecuali dengannya.
Dalam suatu hadis sahih Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 Pokok agama adalah Islam (berserah diri), tiangnya adalah salat, dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.” (HR. At-Tirmidzi no. 26160).
Salat adalah ibadah yang pertama kali diwajibkan setelah ikhlas dan tauhid, sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
 Dan tidaklah mereka disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam menjalankan agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Salat juga merupakan amal pertama kali yang akan dihisab di Hari Kiamat kelak, seperti tersebut dalam hadis dari sahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 Sesungguhnya yang pertama kali dihisab dari amal seorang hamba pada Hari Kiamat adalah salat. Apabila salatnya baik, maka ia telah berbahagia dan sukses, tetapi apabila salatnya jelek, maka ia telah celaka dan rugi.” (HR. At-Tirmidzi, no. 413)
Di samping itu, salat adalah wasiat terakhir Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya, sebagaimana telah diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwasanya ia berkata,
 Wasiat terakhir Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah ‘Kerjakanlah salat, Kerjakanlah salat, dan tunaikanlah kewajiban kalian terhadap budak-budak yang kalian miliki.” (HR. Ahmad, no. 25944)
Inilah gambaran agungnya kedudukan ibadah salat dalam agama Islam yang kita anut. Alquran dan Sunah yang sahih memberikan ancaman keras bagi orang yang meninggalkan salat. Dalam surat Al-Mudatstsir ayat 42-43 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
 Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (Neraka)?” Mereka menjawab, “Kami dahulu (di dunia) tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan salat.”
Lantas, apa hukum orang yang meninggalkan salat?
Seluruh ulama umat Islam sepakat bahwa orang yang meninggalkan salat karena mengingkari kewajibannya adalah kafir. Namun kemudian mereka berbeda pendapat tentang orang yang meninggalkan salat tanpa mengingkari kewajibannya. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ia telah kafir dan keluar dari Islam. Sementara yang lain menyatakan bahwa hukumnya masih berada di bawah kesyirikan dan kekafiran.
Para ulama juga berbeda pendapat tentang hukuman yang layak bagi orang yang meninggalkan salat. Sebagian mereka berpendapat bahwa hukumannya adalah didera dan dipenjara, sedangkan yang lain mengatakan bahwa ia harus dibunuh sebagai hukum had baginya, bukan karena murtad.
Akan tetapi jamaah sekalian, terlepas dari perbedaan pendapat para ulama tentang hukum dan hukuman bagi orang yang meninggalkan salat dengan sengaja, hendaknya seorang muslim merasa takut apabila keislamannya diperdebatkan oleh para ulama dengan sebab meninggalkan salat. Meski seharusnya sudah cukup bagi kita untuk merasa takut jikalau meninggalkan salat dikarenakan ancaman yang begitu keras dari Allah Subhanahu wa Ta’ala maupun dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Salat adalah kebutuhan batin seorang hamba, layaknya makan dan minum sebagai kebutuhan lahirnya. Sehari saja manusia tidak makan, maka badannya akan terasa lemas dan tidak berdaya. Makan adalah hajat manusia dan penopang kesehatan badannya. Kebutuhan jasmani terhadap makanan harus dipenuhi, sebagaimana kesehatan rohani juga harus dipenuhi. Kebutuhan hati kita harus dipenuhi dengan banyak berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan di antaranya adalah dengna mengerjakan salat.
Hadirin rahimakumullah
Perhatikanlah orang-orang yang tidak salat! Hidupnya tidak mengalami ketenangan, meskipun secara lahiriyah hidupnya kaya raya dan mempunyai harta yang berlimpah, namun mereka sama sekali tidak mengalami ketenangan dan tidak juga kenyamanan. Berbeda dengan orang yang salat, ia merasa tenang dan bahagia. Melaksanakan salat dapat menenangkan hati, karena di dalam salat mengandung dzikrullah (mengingat Allah) dan itu mebawa kepada ketenangan batin, sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
 Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Jiwa orang yang melakukan salat akan mengalami ketenangan dan akan mendapatkan thuma’ninah dalam hidup. Berbeda dengan orang yang enggan salat. Hidupnya mengalami was-was, tidak tentang, ketakutan, dan selalu diganggu oleh setan.
Tunaikanlah salat karena ajal begitu dekat. Laksanakanlah perintah-Nya selagi amal masih dicatat. Segeralah bertaubat sebelum pintu-Nya tertutup rapat. Jadilah hamba yang taat demi meraih surga-Nya yang penuh dengan nikmat.

 
SIFAT MUNAFIK”

Sungguh merupakan suatu hal yang tidak bisa kita pungkiri hari ini, kenyataan pahit telah terpampang jelas di hadapan kita, di mana kemungkaran, kemaksiatan, dan kemunafikan telah menjamur di tubuh kaum muslimin. Sebagian di antara kita kaum muslimin, tidak lagi menghiraukan nasihat serta petuah yang telah diwasiatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sebagiannya lagi nekat menerobos dan menerjang hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya dengan dalih tidak selaras dengan akal dan pikiran manusia. La haula wala quwwata illa Billah.
Maka ketahuilah wahai kaum muslimin, bahwasanya menerobos dan menerjang hukum-hukum Allah dengan dalih tidak selaras dengan akal dan pikiran merupakan tanda-tanda kemunafikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
 Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum rasul, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” (QS. An-Nisa: 61)
Ma’asyiral muslimin rahimaniy warahimakumullah
Ketahuilah, bahwasanya kemunafikan merupakan sebuah parasit yang dapat merobohkan dan menghancurkan pondasi keimanan seseorang, yang dengannya pula barisan kaum muslimin menjadi porak poranda.
Allah tetap menyingkap tirai kemunafikan, serta mencela dan menghinakan pelakunya.
Allah telah menyebutkan sifat-sifat mereka agar  hamba-hamba-Nya (yang beriman) dapat menghindar serta menjauh dari sifat kemunafikan dan para pelakunya.
Imam Ibnul Qoyyim dalam kitabnya, Madarijus Salikin, telah menjelaskan bahwasanya nifaq (kemunafikan) ada dua macam: nifaq akbar (kemunafikan besar) dan nifaq ashghor (kemunafikan kecil).
Dan dalam kesempatan yang mulia ini, sedikit akan kami paparkan kedua macam kemunafikan ini dan sekaligus ciri-ciri dan sifat-sifatnya
Pertama: Nifaq akbar (kemunafikan besar) atau lebih dikenal dengan nifak i’tiqodi (munafik keyakinan).
Nifaq (kemunafikan) jenis ini adalah sebuah kemunafikan yang dapat mengeluarkan seseorang dari keimanan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka telah beriman kemudian menjadi kafir lagi lalu hati mereka dikunci mati, karena itu mereka tidak dapat mengerti.” (QS. Al-Munafiqun: 3)
Dan juga dalam Surat at-Taubah: 66, dimana Allah memvonis orang-orang yang berada di barisan kaum muslimin akan tetapi mengolok-olok Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
 “…Sungguh kalian telah kufur setelah kalian beriman…”
Jamaah Jumat yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Di antara sifat-sifat kaum munafik dengan nifaq i’tiqodi yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan dan menjelaskannya di dalam Alquran, ialah:
1. Mereka mengaku dan mengikrarkan keimanan layaknya seorang mukmin, padahal hati mereka tidaklah seperti apa yang mereka ucapkan.
Maka Allah pun menyibak apa yang ada dalam hati mereka dengan firman-Nya,
 Dan di antara manusia ada yang mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,’ padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah
2. Mereka memiliki dua wajah dan dua lisan.
Allah berfirman,
 Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, ‘Kami telah beriman’ dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan, ‘Sesunggunya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok’.” (Al-Baqarah: 14)
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan selain keduanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan mengenai sifat mereka ini.
Dari Abu Hurairah radhiallahu’nhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya sejelek-jelek manusia adalah yang mempunyai dua wajah di mana dia datang kepada mereka (kaum muslim) dengan satu wajah dan keapda mereka (kaum munafik) dengan wajah yang lain.” (HR. Bukhari 3494, dan Muslim: 2526)
3. Mereka mencegah dan mengahalangi manusia dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah berfirman,
 Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai lalu mereka menghalangi manusia dari jalan Allah …” (QS. Al-Munafiqun: 2)
Maka sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghinakan apa yang mereka perbuat dengan firman-Nya,
 …Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-Munafiqun: 2)




4. Istihza (mempermainkan/melecehkan) Allah, ayat-ayat, dan rasul-Nya.
Allah berfirman,
 Dan jika kamu tanyakan kepada mereka tentang apa yang mereka lakukan itu, tentulah mereka akan menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” (QS. At-Taubah: 65)
Mengenai Istihza terhadap Allah dan rasul-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala membantah perbuatan mereka dengan firman-Nya,
 Katakanlah, ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At-Taubah: 65-66)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Sesungguhnya Istihza kepada Allah, ayat-ayat, dan rasul-Nya adalah sebuah kekufuran.”
Dan hal senada juga telah dikatakan oleh Syaikh Abdurrahman As-Sa’di ketika menafsirkan ayat tersebut.
Jamaaah Jumat yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Inilah sebagian apa yang telah Allah kabarkan tentang keadaan dan sifat-sifat mereka (kaum munafik i’tiqodi). Maka seyogyanyalah kita terus berusaha menjaga diri kita dari sifat-sifat tersebut di atas agar kita tidak terjerumus ke dalam kekufuran sebagaimana mereka telah terjerumus ke dalamnya.

Perayaan Tahun Baru dalam Islam
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menciptakan segala sesuatu dan menetapkan ketentuan atas seluruh makhluk-Nya. Dialah satu-satunya yang menguasai serta mengatur seluruh alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti jejaknya hingga akhir zaman.

Saudara-saudaraku yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,

Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kapan dan di manapun kita berada. Karena dengan bertakwalah seseorang akan mendapatkan pertolongan-Nya untuk bisa menghadapi berbagai problema dan kesulitan yang menghadangnya. Begitu pula, marilah kita senantiasa merenungkan betapa cepatnya waktu berjalan serta mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian yang kita saksikan.

Bulan demi bulan telah berlalu dan tanpa terasa kita telah berada di pengujung tahun hijriyah. Tidak lama lagi tahun yang lama akan berlalu dan akan datang tahun yang baru. Hal ini menunjukkan semakin berkurangnya waktu hidup kita di dunia dan mengingatkan semakin dekatnya ajal kita. Maka sungguh aneh ketika didapatkan ada sebagian orang yang justru bersenang-senang dengan berfoya-foya dalam menyambut tahun baru. Seakan-akan dia tidak ingat bahwa dengan bertambahnya hari, maka bertambah dekat pula saat kematiannya.
Di sisi lain, perayaan tahun baru tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Bahkan hal itu justru merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang orang kafir. Karena mereka sebagaimana disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah orang-orang yang tertipu dengan kehidupan dunia sehingga yang mereka bangga-banggakan adalah kemewahan dunianya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan tentang mereka di dalam firman-Nya,
 Dan mereka (orang-orang kafir) berbangga-bangga dengan kehidupan dunianya, padahal tidaklah kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, kecuali hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (Q.s. Ar-Ra’d: 26)
Ayat-ayat yang semisal ini banyak disebutkan dalam Alquran. Mengingatkan kita untuk tidak mengikuti akhlak orang-orang kafir yang membangga-banggakan dunia. Yang demikian ini karena sifat membangga-banggakan dunia akan menyeret pelakunya pada kesombongan dan melalaikannya dari mengingat kematian dan beramal untuk akhiratnya. Oleh karena itu wajib bagi kaum muslimin untuk meninggalkan kebiasaan mereka dalam merayakan tahun baru hijriyah, karena acara tersebut bukan termasuk ajaran Islam. Bahkan merupakan kebiasaan orang-orang kafir.

Saudara-saudaraku yang semoga dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,

Adapun yang semestinya dilakukan oleh seorang muslim terlebih di akhir tahun ini adalah berupaya untuk melakukan interopeksi diri. Selanjutnya bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas seluruh kesalahan yang telah dilakukannya serta memohon ampun atas kekurangannya dalam menjalankan ketaatan kepada-Nya. Di samping itu juga memohon pertolongan kepada-Nya untuk bisa istiqamah dan senantiasa bertambah ilmu dan amal shalihnya. Begitu pula berusaha agar hari yang akan datang senantiasa lebih baik dari yang sebelumnya, sehingga hidupnya lebih baik dari kematiannya.

Ketahuilah bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga bagi seorang muslim. Bahkan lebih berharga dari harta dunia yang dimilikinya. Karena harta apabila hilang maka masih bisa untuk dicari. Sementara waktu apabila telah berlalu tidak mungkin untuk kembali lagi. Sehingga tidak ada yang tersisa dari waktu yang telah lewat kecuali apa yang telah dicatat oleh malaikat. Maka sungguh betapa ruginya orang yang tidak memanfaatkan waktunya apalagi jika dipenuhi dengan kemaksiatan kepada Rabb-nya. Meskipun kehidupannya serba tercukupi dan serba ada, namun apalah artinya kalau seandainya berakhir dengan menerima siksaan api neraka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
 Maka tentunya engkau tahu, jika Kami berikan kepada mereka kenikmatan hidup bertahun-tahun. Kemudian datang kepada mereka azab yang telah diancamkan kepada mereka niscaya tidak berguna bagi mereka apa yang mereka selalu menikmatinya.” (Q.s. Asy-Syu’ara: 205-207)
Hadirin rahimakumullah,
Selanjutnya perlu diketahui pula, bahwasanya tidak disyariatkan bagi kaum muslimin untuk berdoa dengan doa khusus yang dikenal oleh sebagian orang dengan istilah doa akhir tahun dan doa awal tahun. Karena hal ini tidak pernah dicontohkan pula oleh suri tauladan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sehingga tidak boleh bagi kita untuk mengamalkannya. Karena kita harus mengingat bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejelek-jelek amalan adalah yang menyelisihi petunjuknya.
Akhirnya, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan tahun yang akan datang dan tahun-tahun berikutnya menjadi tahun yang penuh dengan keamanan dan kesejahteraan. Mudah-mudahan kaum muslimin baik masyarakatnya maupun para pemimpin bangsanya dimudahkan untuk semakin memahami Alquran dan As-Sunnah dengan pemahaman para sahabat dan para ulama yang mengikuti jalannya serta dalam mengamalkan keduanya.
Walhamdulillahi rabbil ’alamin.

Mengapa Musibah Selalu Datang Menimpa Kita
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan kesempurnaan qudrah-Nya, dan kesempurnaan hikmah-Nya, dan seluruh perkara di bawah pengaturan dan pengawasan-Nya, baik itu kelapangan, keamanan, kesempitan, dan ketakutan, semuanya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Mahakuasa untuk mengaturnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadanya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (QS. Ar-Rahman: 29)
Maka semua ketetapan berjalan berdasarkan hikmah dan keutamaan atau keadilan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala menzalimi siapa pun di alam dunia ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
 Dan tidaklah Kami menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Az-Zuhruf: 76)
Jamaah kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sesungguhnya kita beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan qadar-Nya, dan bahwa iman kepada qodar Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah salah satu dari rukun iman yang enam, maka kita mengimani bahwa semua yang menimpa kita baik kebaikan maupun kelapangan itu adalah nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang wajib kita syukuri dengan cara kita mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala melaksanakan ketaatan dan menjauhi larangan-Nya, maka tatkala itu, kita berhak untuk mendapatkan janji Allah yaitu akan ditambahkan nikmat-Nya tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
 Dan (ingatlah juga), tatkala Rabb kalian memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkati (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat peduh.” (QS. Ibrahim: 7)
Jamaah kaum muslimin
Sesungguhnya semua yang menimpa manusia baik kemadaratan dan kesempitan tidak lain hal itu karena kemaksiatan yang mereka lakukan, juga karena kelalaian mereka dari melaksanakan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala serta disebabkan mereka melupakan syariat-syariat Allah. Allah mengabadikan hal itu di dalam kitabullah agar kita bisa berhati-hati dan waspada.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
 Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. As-Syura: 30)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,
 Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa: 79)
Jamaah kaum muslimin yang dimuliakan Allah
Sesungguhnya kebanyakan manusia pada hari ini, mereka hanya mengaitkan musibah-musibah yang menimpa mereka, dengan kejadian-kejadian alam semata, dengan faktor-faktor eksternal yang tidak ada kaitannya dengan kesalahan mereka sendiri. Maka, tidak ragu lagi bahwa hal itu karena kurangnya pemahaman mereka dan lemahnya keimanan mereka, dan juga karena mereka lalai dari menadaburi kitabullah dan sunah-sunah rasul-Nya.
Jamaah kaum muslimin yang dimuliakan Allah
Orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Ketahuilah bahwasanya dibalik sebab-sebab dan faktor alam tersebut, ada juga sebab-sebab syar’i bahkan hal inilah sebab yang lebih dominan dan lebih kuat serta lebih membawa pengaruh dari terjadinya musibah-musibah yang ada tersebut. Hanya saja memang terkadang sebab-sebab dan faktor alam itu menjadi wasilah ataupun perantara dari sebuah ketetapan hukum dari sebab-sebab syar’i. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
 Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41)
Hanya saja, kita wajib bersyukur atas nikmat yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada umat ini, dimana umat ini tidaklah akan diadzab dan disiksa yang ditimpakan kepada umat-umat yang terdahulu, umat ini tidak akan ditimpakan dengan suatu bencana yang merata dan mematikan seluruh manusia, sebagaimana yang telah terjadi pada kaum ‘Aad, tatkala mereka dihancurkan dengan badai angin topan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
 Yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus; Maka kamu lihat kaum Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk) maka kamu tidak melihat seorang pun yang tinggal di antara mereka.” (QS. Al-Haaqqah: 7-8)
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan umat ini binasa seperti kaum Tsamud, mereka dihujani badai dan disambar petir sehingga mereka di dalam rumah-rumah mereka menjadi bangkai yang berserakan. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan umat ini binasa seperti kaum Luth, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengirim kepada mereka hujan batu dan langit, dan membalik bangunan-bangunan mereka yang atas menjadi di bawah sehingga mereka hancur-lebur. Naudzubilla min dzalik.

Tunaikanlah Amanah

Kaum muslimin rahimakumullah

Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah dan meningkatkan ketakwaan dalam kehidupan kita. Khususnya di zaman yang banyak cobaan dan ujian yang menimpa kaum muslimin umumnya dan negara kita khususnya.
Di antara bentuk ketakwaan tersebut adalah menunaikan amanah yang telah dibebankan kepada kita semua, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
 Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat jahil, sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyirikin laki-aki dan perempuan; sehingga Allah menerima taubat orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 72-73)
Amanah ini sebenarnya telah ditawarkan kepada alam semesta, langit, bumi, dan gunung. Namun mereka semua takut memanggulnya dan enggan menerimanya karena takut dengan azab Allah. Lalu amanah tersebut ditawarkan kepada bapak kita Adam dan beliau menerimanya.
Ibnu Abbas menjelaskan pengertian amanah dalam ayat ini, “Amanah adalah kewajiban-kewajiban, Allah tawarkan kepada langit, bumi, dan gunung. Apabila mereka menunaikannya, maka mereka mendapatkan pahala dan bila menyia-nyiakannya, maka mereka diberi siksa, lalu mereka menolaknya. Penolakan tersebut bukan karena tidak taat kepada Allah, namun karena mengagungkan agama Allah.
Wahai hamba Allah! amanah tersebut adalah beban syariat yang mencakupi hak-hak Allah dan hak-hak hamba-Nya. Siapa yang menunaikannya, maka dia mendapatkan pahala dan barangsiapa yang menyia-nyiakannya, maka dia mendapatkan siksa dan adzab.
Siapa yang memiliki kesempurnaan sifat amanah, maka ia telah menyempurnakan agamanya, dan siapa yang tidak memilikinya maka ia telah membuang agamanya, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Al-Bazzar, dan juga Ath-Thabrani dari hadis Anas bin Malik dan dinilai sahih oleh Syekh Al-Albani dalam Sahih al-Jami’, beliau menngatakan, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Tidak ada iman (dengan sempurna) bagi orang yang tidak memiliki amanah dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menjaga janjinya.”
Oleh karena itu, sifat amanah menjadi sifat para nabi dan rasul. Perhatikanlah Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, ketika mengisahkan tentang Nabi Nuh, Hud, dan Salih,
 Sesungguhnya aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.” (QS. Asy-Syu’ara: 107-108).
Demikian juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa semakin berkurang sifat amanah, maka semakin berkurang juga cabang keimanan, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dari hadis Hudzaifah bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Sesungguhnya amanah telah turun ke tengah hati orang-orang, kemudian turunlah Alquran, sehingga mereka mengetahui Alquran dan sunah. Kemudian Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang hilangnya sikap amanah, ‘seseorang tidur sebentar lalu amanah di cabut dari hatinya sehingga tersisa bekasnya seperti bercak kecil, kemudian tidur kembali lalu dicabut amanah dari hatinya sehingga tersisa seperti lepuhan luka, seperti bara api yang kamu tempelkan ke kakimu, lalu kaki tersebut terluka dan kamu lihat ia melepuh dan tidak ada apa-apanya. Kemudian beliau mengambil kerikil dan ditempelkan ke kaki beliau. Lalu orang-orang berbai’at namun hampir tak seorang pun menunaikan amanah hingga diberitakan bahwa pada bani Fulan terdapat seorang yang amanah, hingga dikatatakan kepada orang itu, ‘Alangkah sabarnya, alangkah hebatnya dan alangkah berakalnya!’ Padahal di hatinya tidak ada sebiji sawi pun dari iman.”
Demikianlah Allah mencabut sifat amanah dari hati seseorang dengan sebab meremehkan kewajiban agama dan khianat terhadap hak-hak orang lain. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan,
 Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. Ash-Shaf: 5)
Dari sini, jelaslah bahwa tauhid dan memberantas kesyirikan adalah amanah, amar makruf nahi mungkar adalah amanah, harta adalah amanah yang tidak boleh dipakai untuk kemaksiatan, mata kita adalah amanah yang harus dijaga dari memandang yang haram, dan seluruh anggota tubuh kita adalah amanah yang harus dijaga dan dipelihara dari keburukan dan kemaksiatan.
Wahai kaum muslimin rahimakumullah
Demikian juga keluarga dan anak-anak, mereka merupakan amanah yang harus ditunaikan dengan mendidik mereka dengan pendidikan Islam, dan jangan dibiarkan hancur oleh globalisasi yang menerpanya.
Ingatlah janji Allah kepada orang yang menunaikan amanah dan hak-haknya yang dijelaskan dalam firman-Nya,
 Dan orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi Surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Mu’minun: 8-11)
Ingat juga dengan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis yang hasan,
Berilah jaminan kepadaku enam perkara, niscaya aku jamin bagi kalian surga; apabila salah seorang kalian berbicara maka jangan berdusta, apabila berjanji jangan mengingkari, apabila diberi amanah jangan berkhianat, dan tundukkanlah pandangan kalian, peliharalah kemaluan kalian serta jagalah tangan-tangan kalian.” (HR. Ahmad)

Kaum muslimin rahimakumullah

Perlu diingat oleh kita semua, bahwa menyia-nyiakan dan tidak menunaikan amanah, memiliki implikasi buruk pada keadaan seseorang dan dapat menjadi sebab kerusakan masyarakat. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang waktu kiamat? Beliau menjawab,
Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah kiamat.” (HR. Al-Bukhari).
Oleh karena itu, bertakwalah wahai kaum Muslimin, peliharalah amanah dan tunaikanlah hak-hak dan kewajiban seorang hamba serta jauhilah semua larangan Allah.
Beriman Kepada yang Ghaib
Marilah pada hari yang mulia ini, kita senantiasa melakukan introspeksi diri dan muhasabah terhadap amal-amal yang telah kita lakukan, baik yang kita lakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk terus kita tingkatkan, atau sebaliknya yang menjauhkan kita dari Allah, untuk berusaha kita tinggalkan. Oleh karenanya, marilah kita senantiasa meningkatkan mutu keimanan dan kualitas ketakwaan kita, sebab takwa adalah sebaik-baik bekal yang dapat kita siapkan untuk menjemput akhir hidup kita yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan kabar gembira kepada kita dengan Firman-Nya,
 Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Tentang beriman kepada yang ghaib, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di awal surat Al-Baqarah,
 Alif lam mim. Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi merek ayng bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rizki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Alquran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunuuk dari Rabb mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 1-5)
Di dalam ayat yang mulia ini Allah menegaskan, bahwa salah satu dari sifat seorang mukmin adalah bagaimana dia dapat mengimani hal yang ghaib, yaitu dengan cara membenarkan segala yang telah dikabarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya mengenai hakikat sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala atau hal-hal yang telah terjadi maupun yang akan terjadi; keadaan akhirat, hari kebangkitan, surga, nereka, shirat, dan hari perhitungan, dan lainnya dari hal-hal ghaib. Begitu juga tentang keberadaan jin; sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dan Ar-Rabi’ bin Anas dan juga Ibnu Mas’ud ketika menafsirkan ayat ini.
Dan termasuk bentuk keimanan terhadap hal yang ghaib, sebagaimana keyakinan dan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah, adalah meyakini bahwa yang mengetahui yang ghaib hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan ini termasuk sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling khusus, yang tidak ada seoarang makhluk pun dapat menyamai-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
 Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Al-An’am: 59)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,
 Katakanlah (hai Muhammad), ‘Tiada siapa pun, baik di langit maupun di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah, dan mereka tidak mengetahui kapan mereka dibangkitkan’.” (QS. An-Naml: 65)
Dan juga Firman-Nya,
 Katakanlah (hai Muhammad), ‘Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa perbendaharaan (rahasia) Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib, dan tidaklah aku mengatakan kepada kalian bahwa aku ini malaikat, akut idak mengikuti kecuali apa yangp diwahyukan kepadaku’.” (QS. Al-An’am: 50)
Ayat-ayat ini sangatlah jelas, bahwa tidak ada yang mengetahui hal ghaib kecuali Allah; tidak para nabi, tidak para malaikat, tidak para wali, dan tidak seorang pun yang bisa mengetahui yang ghaib. Apabila ada hal-hal ghaib yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hal itu karena beliau telah diberitahukan Allah, bukan berarti beliau mengetahui yang ghaib.
Maka barangsiapa berkeyakinan bahwa dirinya atau orang lain bisa menguasai hal ghaib atau mengetahui hal-hal yang ghaib, berarti dia telah kufur, karena hal ini termasuk hal yang tidak pernah diberitakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada siapa pun; tidak kepada para malaikat yang dekat dengan-Nya dan tidak juga kepada para rasul yan diutus-Nya.
Bila ada orang yang mengatakan bahwa hari kiamat akan terjadi tahun 2050 misalnya, maka dengan sangat yakin kita katakan bahwa dia seorang pendusta. Dan begitu seterusnya.
Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, yang merupakan hamba Allah yang paling dicintai-Nya, tidak mengetahui hal-hal yang ghaib selain yang diwahyukan kepada beliau, maka bagaimana dengan orang-orang selain beliau? Tentu mereka pasti lebih tidak tahu. Bahkan dengan jelas dan terang beliau menafikan bahwa beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Perhatikan Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut,
 Katakanlah (hai Muhammad), ‘Aku tidak berkuasa mendatangkan manfaat bagi diriku dan tidak (pula kuasa) menolak kemudaratan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang berian’.”  (QS. Al-A’raf: 188)
Ma’asyiral muslimin, rahimakullah
Adapaun hal-hal ghaib yang dikabarkan oleh para nabi dan rasul, sebagaimana Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada umatnya tentang tanda-tanda hari kiamat, tentang adanya surga dan neraka, tentang adanya azab kubur dan nikmat kubur, dan juga rasulullah pernah memegang leher Jin Ifrit ketika beliau diganggu oleh jin tersebut di dalam salatnya sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim, dan juga hal-hal yang ghaib lainnya, maka yang demikian itu tiada lain hanyalah sebagai salah satu tanda kenabian dan keistimewaan bagi beliau, dan hal ini hanyalah sebagai wahyu Ilahi, sebab beliau tidak bertutur kata melainkan berdasarkan bimbingan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
 “(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang hal yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhaiNya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (QS. Al-Jin: 26-27)

Jamaah salat Jumat rahimakumullah

Namun sangat disayangkan, masih banyak di antara kaum muslimin yang percaya cerita-cerita khurafat, tahayul, mistik, dan cerita-cerita syirik jahiliyah. Misalnya berkeyakinan bahwa ada di antara manusia yang dapat mengetahui hal yang ghaib, bisa mengetahui nasib seseorang, mengetahui hal yang akan datang, bisa melakukan penerawangan dan bahkan mengaku bisa melihat makhluk-makhluk ghaib. Fenomena demikian terjadi di sekitar kita, apalagi dengan adanya sekian banyak bentuk tayangan media, baik cetak maupun elektronik yang menggambarkan cerita-cerita demikian, justru semua itu memperparah dan seolah-olah telah melegitimasi bahwa yang demikian adalah benar, padahal justru sebaliknya, keyakinan-keyakinan yang demikian adalah penyimpangan yang sangat berbahaya terhadap akidah dan keyakinan seorang muslim.
Pada dasarnya yang mereka lakukan itu tiada lain hanyalah tipu daya jin dan propaganda setan untuk menggiring kaum Muslimin, agar jauh dari tuntunan Alquran dan sunah, kemudian terjerumus ke lembah kesyirikan dan tenggelam ke dalam lumpur kekufuran. Karena hal ini meruapakn perbautan menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan selain-Nya dalam perkara yang menjadi kekhususan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu mengetahui hal yang ghaib.
Cobalah perhatikan ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,
Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda,
Barangsiapa yang mendatangi seorang dukun atau seorang tukang ramal, kemdian membenarkan apa yang dikatakannya, maka dia telah kafir terhadap wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan oleh Ahmad no. 9252; At-Tirmidzi no. 135; Abu Dawud no. 2904; dan Ibnu Majah no. 639. Dan disahihkan oleh Al-Albani).
Di antara kita barangkali ada yang bertanya, “Kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengafirkan orang yang datang dan membenarkan perkataan seorang dukun atau seorang tukang ramal, padahal orang tersebut tidak menyembahnya, tidak bersujud kepadanya, tidak ruku di hadapannya?”
Sebabnya adalah, karena orang tersebut telah menganggap bahwa sang dukun atau tukang ramal tersebut mengetahui hal-hal yang ghaib. Sedangkan meyakini bahwa ada yang mengetahui hal-hal ghaib selain dari Allah adalah kufr, dan itulahs ebabnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengafirkan orang yang melakukannya.
Jamaah Jumat yang dirahmati Allah
Mudah-mudahan khutbah singkat ini dapat menyadarkan kita kembali akan poin akidah yang haq ini yaitu, seorang mukmin wajib beriman terhadap hal-hal yang ghaib, bahkan itulah salah satu ciri orang-orang yang beruntung. Kemudian ingat pula bahwa tidak ada yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah. Ini sangat penting untuk kita pegagn teguh, karena klaim mengetahui yang ghaib telah tersebar luas di tengah kita atas nama zodiak atau atas nama mencari jodoh, dan lain seabgainya.
Untuk kesekian kali khatib mengingatkan, tidak ada yang mengetahui yang ghaib kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Motivasi Agar Segera Bertobat
Jamaah sekalian, bertakwalah kepada Allah, Rabb kalian, bertobatlah kepada-Nya dari kemaksiatan dan kembali menuju ketaatan kepada-Nya. Kembali mendekat setelah menjauh dari-Nya. Kembali dan menuju kesucian setelah bergelimang dengan najisnya dosa. Sesungguhnya Allah mencintai orang yang bertaubat dan orang-orang yang bersih lagi suci. Ketauhilah, bahwasanya Allah memerintahkan kita untuk bertobat kepada-Nya. Allah berfirman,
 “Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubatan nasuha (tobat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabb-mu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (Q.s. At-Tahrim: 8).
 Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Q.s. An-Nur: 31).
Imam muslim meriwayatkan dalam sahihnya, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia, bertobatlah kalian kepada Allah. Sesungguhnya aku bertobat kepada-Nya 100 kali dalam sehari semalam.” Tobat dari dosa dan kemaksiatan merupakan suatu kewajiban berdasarkan perintah Allah dan rasul-Nya.
Jamaah sekalian, sesungguhnya perbuatan dosa dan kemaksiatan memberikan ke-mudharat-an yang banyak. Ia merupakan sebab musibah, bencana, dan malapetaka. Allah berfirman,
 Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Q.s. Asy-Syura: 30).
 Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (Q.s. An-Nur: 63).
 Dan orang-orang yang kafir senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri atau bencana itu terjadi dekat tempat kediaman mereka, sehingga datanglah janji Allah. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.” (Q.s. Ar-Ra’d: 31).
Tidaklah kesengsaraan yang terjadi di dunia dan akhirat kecuali disebabkan oleh dosa dan kemaksiatan. Apakah yang menyebabkan kaum Nuh tenggelam dengan air yang menenggelamkan gunung?! Apa pula yang menyebabkan kaum Hud ketika dibinasakan dengan angin, sampai-sampai mereka bergelimpangan bak tunggul pohon yang kosong?! Apa pula yang menyebakan kaum Tsamud dikirimkan suara yang memekakkan (petir) sampai-sampai jantung mereka putus dari dada-dada mereka?! Apa yang menyebabkan dibalikkanya desa kaum Luth, sehingga Allah menjadikan bagian atasnya ke bagian bawah kemudian mereka dihujani dengan batu hingga mereka binasa tak bersisa?! Apa yang menyebabkan Firaun dan kaumnya tenggelam?! Apa yang menyebabkan Qarun beserta harta dan keluarganya dibenamkan?! Apa pula yang menimpa Bani Israil, berupa serangan suatu kaum yang memiliki kekuatan besar yang merajalela di kampung-kampung Bani Israil, kemudian Allah menakdirkan kaum tersebut datang untuk kedua kalinya, supaya Bani Israil dibantai sehabis-habisnya?!
Sesungguhnya ‘ibadallah, sebab-sebab itu semua adalah dosa dan kemaksiatan. Allah berfirman,
 Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Q.s. Al-Ankabut: 40).
 Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke neraka, maka mereka tidak mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Allah.” (Q.s. Nuh: 25)
Ayyuhal Muslimun, kita menyadari, tidak seorang pun yang ma’shum bebas dari dosa kecuali orang-orang yang Allah jaga. Dalam Sahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Andaikata kalian tidak berbuat dosa, maka Allah akan mengganti kalian dengan suatu kaum yang berdosa kemudian mereka bersegera bertobat kepada Allah. Allah pun langsung mengampuni mereka.”
Dalam riwayat At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak Adam pasti berbuat dosa, dan sebaik-baik pelaku dosa adalah mereka yang bertobat.”
Dengan demikian Allah melapangkan pintu tobat untuk mengabulkan tobat tersebut. Allah berfirman,
 Dan Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Asy-Syura: 25).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah membentangkan tangannya di waktu malam, untuk menerima tobatnya pelaku dosa di siang hari. Dan Dia juga membentangkan tangannya di waktu siang, untuk menerima tobat pelaku dosa di malam hari. Hal itu terus terjadi hingga matahari terbit dari sebelah Barat.”
Ayyuhal muslimun, sesungguhnya tobat adalah kembalinya seseorang dari kemaksiatan menuju ketaatan. Dan syarat diterimanya tobat ada tiga. Apabila tidak terdapat satu saja dari tiga poin ini, maka tidak diterima tobatnya. Syarat tersebut adalah:
Seseorang harus berhenti dari maksiat yang ia lakukan dengan cara segera meninggalkan perbuatan maksiatnya.
Menyesali perbuatannya. Tanda penyesalan tersebut tampak dengan kesedihannya atas apa yang luput darinya.
Bertekat kuat selamanya tidak akan kembali lagi kepada kemaksiatan tersebut. Tanda kebenaran tekatnya akan tampak dengan mengisi dan memperbaiki hari-harinya dengan mengejar kembali apa yang ia lewatkan dari perbutan ketaatan.
Apabila kemaksiatan tersebut berkaitan dengan interaksi dengan orang lain, maka perlu ditambahkan syarat yang keempat, yaitu mengembalikan sesuatu yang semestinya menjadi hak orang tersebut atau meminta maaf pada orang yang pernah dizalimi.
Apabila melewatkan ibadah di masa lalu, maka dapat ia qadha dan apabila menzalimi orang lain, maka tunaikanlah haknya. Marilah kita semua bertobat kepada Allah ayyuhal muslimun dan jangan menunda-nundanya. Ketauhilah, bahwasanya tobat dapat menghapuskan dosa-dosa masa lalu, walaupun dosa tersebut adalah dosa besar. Karena Allah Dia-lah Yang Maha Menerima Tobat dan Maha Penyayang. Allah berfirman,
 Katakanlah, ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (Q.s. Az-Zumar: 53)

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Novel Demung Janggala

Biograpi Oto Iskandar Dinata dalam Bahasa Sunda

Laporan Praktikum Uji Enzim Katalase