Beberapa contoh khotbah Jum'at
“Perbaikilah
sholat anda”
Allah berfirman ,
“Hai
orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.” (QS. Al-
Baqarah: 153)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda kepada Bilal Radiyallahu
‘Anhu,
‘‘Bangkitlah
hai Bilal, hiburlah kami dengan Shalat.’’ (HR.Ahmad, 5/371, dan Abu Daud, 4986)
Shalat adalah komunikasi antara hamba dengan
tuannya. Berdiri di hadapan Allah Subhanahu
wa Ta’ala dalam shalat memiliki efek yang sangat besar dalam
memperbaiki jiwa manusia, bahkan seluruh masyarakat manusia.
Hanya, shalat seperti apakah yang dapat
mempererat hubungan komunikasi antara makhluk dan penciptanya? Shalat seperti
apakah yang dapat memberikan efek yang positif di dalam diri pelakunya,
sehingga dapat mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar, dan bisa membantunya
dalam urusan agama dan dunianya; mendorongnya untuk melaksanakan kewajiban dan
menjauhi hal-hal yang diharamkan dan dimakruhkan? Apakah itu shalat jasmani
tanpa ruh, badan tanpa hati, gerakan tanpa kekhusyukan, bentuk tanpa esensi,
kata-kata tanpa makna? Bukan! Sama sekali bukan! Tetapi shalat Syar’iyah Nabawiyah yang
dilaksanakan menurut rambu-rambu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Sesungguhnya shalat yang
diserukan Islam merupakan mi’raj
ruhani bagi seorang mukmin. Karena ruhnya bisa membawanya mi’raj (naik ke langit) setiap kali
ia melaksanakan shalat kepada Allah, baik shalat fardlu maupun shalat sunnah.
Ruhnya mengajaknya pindah dari alam materi menuju alam yang tinggi, jernih,
suci dan bersih. Di situlah sumber kebahagiaan dan ketenteraman.”
Setiap muslim pasti mengetahui kedudukan shalat
di dalam agama dan syariat Allah. Karena shalat adalah tiang agama Islam dan
garis pemisah antara kufur dan iman. Posisi shalat dalam Islam seperti posisi
kepala bagi tubuh. Bila manusia tidak bisa hidup tanpa kepala, begitu pula
agama tidak bisa wujud tanpa shalat. Nash-nash
syariat yang menerangkan hal itu sangat banyak. Jika masalahnya sedemikian
penting dan krusial maka satu hal yang sangat menyesakkan dada dan menyakitkan
hati ialah bahwa di antara orang-orang yang mengaku Islam masih ada orang-orang
yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin, tetapi meremehkan dan menyepelekan
shalat. Bahkan terkadang lebih parah dari itu.
Akankah
mereka berhenti bersikap seperti itu sebelum mereka ditimpa murka Allah,
dikepung azab Allah, atau dijemput maut?
Saudara-saudaraku
yang rajin shalat! Berbahagialah dengan shalat. Bergembiralah bila Allah
melapangkan dada Anda untuk melaksanakan kewajiban yang agung ini. Selamat buat
Anda yang akan menerima balasan dan anugerah dari Allah, baik di dunia maupun
di Akhirat. Karena Anda telah melaksanakan kewajiban agama yang agung ini.
Wahai
orang-orang yang rajin shalat, ketahuilah bahwa shalat yang diterima oleh Allah
harus memenuhi syarat-syarat, rukun-rukun, wajib-wajib, dan adab-adab tertentu.
Di samping itu, banyak masalah penting dan kesalahan yang berkembang luas
seputar kewajiban ini yang harus diketahui dan dipraktikkan oleh orang-orang
yang shalat. Di dalam Musnad
Ahmad disebutkan,
“Orang
yang paling buruk pencuriannya ialah orang yang mencuri sebagian dari
shalatnya.” (Al-Musnad, 5/310)
Yang
dimaksud dengan mencuri di dalam shalat ialah tidak menyempurnakan rukuknya,
sujudnya dan khusyuknya.
Dan ada
pula riwayat yang menyebutkan, bahwa orang yang selesai shalat akan dicatat
dari shalatnya sebesar 25 persen, atau 20 persen, hingga 10 persen saja. (HR.
Ahmad, 4/321 dan Abu Daud, 796)
Ini
mengajak setiap muslim yang melaksanakan shalat agar memperhatikan urusan
shalatnya, supaya ia tidak kehilangan pahala dan mendapatkan siksa.
Berikut
ini adalah hal-hal singkat yang perlu mendapat perhatian dalam masalah ini:
1. Bersuci
secara lahir dan batin..
2.
Menghadap kiblat.
3. Menutup
aurat.
4.
Memperhatikan kerapian shaf (barisan). Dalam riwayat yang shahih disebutkan
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
merapikan sendiri barisan-barisan yang ada. Ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa
beliau bersikap keras kepada orang yang tidak memperhatikan hal itu. Dalam
sebuah hadits Rasulullah Shalallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kalian benar-benar merapikan barisan kalian,
atau Allah benar-benar akan membuat wajah-wajah kalian berselisih.” (HR.
Al-Bukhari, 717 dan Muslim, 436)
5. Inti
shalat dan ruhnya adalah khusyuk. Allah berfirman,
“Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam
shalatnya.” (QS. Al-Mukminun: 1-2)
”SAYANGILAH WANITA”
Isu
wanita merupakan isu yang sangat penting dan pelik, serta perlu diangkat secara
terus-menerus dan fokus. Karena isu ini telah dijadikan sebagai kendaraan dan
target oleh musuh-musuh Islam. Melalui isu inilah mereka menyebarkan syubhat
(keragu-raguan), kebatilan dan racun manakala banyak umat Islam yang lengah.
Oleh karena itu supaya orang-orang awam tidak terpedaya oleh tipu daya mereka,
maka setiap muslim sesuai dengan bidangnya masing-masing harus peduli pada isu
ini dan harus bisa menjelaskan bagaimana jalan Islam dalam masalah ini. Hal itu
untuk membuktikan kepada seluruh dunia bahwa alhamdulillah kita masih
memahami urusan agama kita dengan baik. Dan juga untuk menunjukkan kepada
mereka bahwa gadis-gadis kita yang terpelihara masih bangga dengan
keislamannya, masih memegang teguh agamanya, dan tidak dipusingkan dengan
bualan orang-orang yang memusuhi akhlak-akhlak, nilai-nilai dan prinsip-prinsip
yang luhur. Lebih-lebih bagi kita yang hidup di tanah suci, di mana kaum wanita
masih memegang teguh jalan Islam yang benar. Bahkan kaum wanita di sini menjadi
prihal yang sitimewa, lain daripada yang lain, dan memiliki peradaban yang
sangat mencolok di saat wanita pada umumnya tengah menghadapi gelombang fitnah
yang datang bertubi-tubi. Hal itu tidak lain karena para pemimpinnya masih
memegang teguh ajaran-ajaran Islam dan mendukung pelarangan terhadap hal-hal
yang bertentangan dengan syariat Islam, seperti berpakaian seronok, membuka
aurat, bergaul bebas dengan lawan jenis dan lain-lain,
Di
sini ada satu hal penting yang perlu diingatkan, bahwa wanita muslimah yang
datang ke rumah Allah terutama Masjidil Haram dan Masjid Nabawi harus bisa
menjadi contoh dan teladan dalam menjaga kehormatan diri, sopan santun, menutup
aurat dan memakai hijab syar’i yang menutupi wajah
dan seluruh badannya. Ini dalam rangka mengamalkan nahs-nash
yang shahih
dan sharih
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia juga harus menghindari berdesak-desakan dengan
laki-laki dan tidak mengganggu mereka dengan aroma parfum yang harum, pakaian
yang indah dan perhiasan yang mewah, agar ia mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu
wa Ta’ala.
Mulia Karena Lisan yang Terjaga”
Allah
Ta’ala berfirman,
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan
ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”
(Qaf: 18).
Sesungguhnya
lisan merupakan salah satu nikmat Allah yang amat besar dan salah satu ciptaan
Allah yang menakjubkan. Bentuknya kecil, namun perannya besar dalam ketaatan
dan kemaksiatan. Bahkan kekufuran dan keimanan tidak bisa diketahui dengan
jelas kecuali dengan persaksian lisan, padahal keduanya merupakan puncak
dari ketaatan dan kemaksiatan.
Lisan adalah raja atas semua anggota tubuh. Semua tunduk dan patuh
kepadanya. Jika ia lurus, niscaya semua anggota tubuh ikut lurus. Jika ia
bengkok, maka bengkoklah semua anggota tubuh.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Apabila
anak cucu Adam masuk waktu pagi hari, maka seluruh anggota badan tunduk kepada
lisan, seraya berkata, ‘Bertakwalah kepada Allah dalam menjaga hak-hak kami,
karena kami mengikutimu, apabila kamu lurus, maka kami pun lurus, dan apabila
kamu bengkok, maka kami pun bengkok’.” (HR. at-Tirmidzi dan Ahmad).
Seorang
manusia bisa masuk surga disebabkan lisannya. Apabila benar lisannya, maka dia
akan mendapatkan pahala, dan sebaliknya bila salah maka dia mendapatkan dosa.
Lisan manusia bisa mewujudkan dzikir, tasbih, dan tahlil, atau membaca
al-Qur`an, atau ucapan amar ma’ruf nahi munkar, berbuat baik kepada manusia,
dan mengajak mereka kepada kebaikan. Lisan adalah salah satu nikmat Allah jika
dipergunakan oleh hamba untuk kebaikan, petunjuk, dan keshalihan.
Lisan memang senang
mengembara ke tempat yang tak bertujuan, lahannya luas tiada terbatas dan
bertepi. Ia memiliki peran yang besar di dalam lahan kebajikan, dan juga di
dalam keburukan. Maka barangsiapa yang mengumbar lisannya dengan bebas dan
tidak mau mengendalikannya, maka setan akan menggiringnya ke dalam segala
sesuatu yang dia ucapkan. Lalu menyeretnya ke jurang kehancuran, dan
selanjutnya jatuh ke dalam kebinasaan.Tidak seorang pun dapat selamat dari
tergelincirnya lisan kecuali orang yang mau mengendalikannya dengan tali kekang
syariat, sehingga lisannya tidak mengucapkan kecuali sesuatu yang memberi
manfaat di dunia dan akhirat. Ketika Aisyah berkata kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam,
“Cukuplah bagi Anda
bahwa Shafiyah itu orangnya begini, begini.” Maksudnya tubuhnya pendek. Maka Nabi bersabda kepadanya,
“Engkau telah mengucapkan suatu perkataan yang bila dicampur dengan air laut
niscaya dia akan merubahnya.” (HR. Abu Dawud).
Imam an-Nawawi yang wafat pada tahun
676 H. berkata, “Ketahuilah bahwa setiap mukallaf harus menjaga lisannya dari
semua perkataan kecuali perkataan yang maslahat di dalamnya telah jelas. Dan
ketika perkataan itu mubah, sedangkan dalam meninggalkannya terdapat maslahat
maka disunnahkan untuk menahan diri darinya. Karena terkadang perkataan yang
mubah akan terseret menuju keharaman atau kemakruhan, bahkan ini menjadi hal
yang umum di dalam adat kebiasaan, sedangkan keselamatan maka tidak ada sesuatu
pun yang menyamainya.”
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia berkata baik atau
diam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Saya berkata, “Hadits yang disepakati
keshahihannya ini merupakan nash yang sharih, bahwasanya tidak seharusnya
seseorang berbicara melainkan apabila perkataan tersebut baik, yaitu yang
tampak jelas maslahatnya, dan ketika ragu tentang kejelasan maslahatnya, maka
janganlah berbicara.”
Al-Imam asy-Syafi’i berkata, “Apabila seseorang
ingin berbicara, maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara,
apabila telah jelas maslahatnya, maka dia berbicara, dan apabila ragu-ragu,
maka dia tidak berbicara sampai jelas maslahatnya.” Al-Imam asy-Syafi’i juga
pernah berpesan kepada muridnya ar-Rabi’, “Wahai ar-Rabi’, janganlah kamu
berbicara tentang perkara yang tidak penting bagimu, karena apabila kamu
berbicara satu kata, maka ia akan memilikimu, sedangkan kamu tidak dapat
memilikinya.”
Dan kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari:
Dari Sahal bin Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu, dari
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam, beliau bersabda,.
“Barangsiapa yang
memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) kejahatan lisan yang berada di
antara dua tulang rahangnya, dan kejahatan kemaluan yang berada di antara kedua
kakinya, niscaya aku akan memberikan jaminan surga kepadanya.” (HR. al-Bukhari).
“SYARAT AMAL DITERIMA”
Kita telah mengetahui, bahwa Allah
memerintahkan kepada kita untuk beribadah kepada-Nya. Setelah itu Allah Subhanahu
wa Ta’ala akan membalas pahala amal ibadah, sesuai dengan
tingkatannya. Namun, kita perlu menyadari, bahwa amal ibadah kita, tidak semua
akan diterima. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Jika amal seseorang telah memenuhi
persayaratan itu, berarti amalnya akan diterima Allah Subhanahu
wa Ta’ala, dan jika kurang, maka akan ditolak. Sebagai seorang
muslim yang menghendaki agar amal ibadahnya diterima dan mendapatkan ganjaran
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka kita harus berusaha
semaksimal mungkin untuk mengetahui dan selanjutnya memenuhi persyaratan itu.
Sebab, apalah artinya amal banyak, namun tidak mendatangkan keridhaan Allah
Subhanahu wa Ta’ala?! Bahkan justru sebaliknya, menyebabkan murka
Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Sia-sialah kita dalam beramal, kalau pada
akhirnya akan ditolak dan dikembalikan kepada kita.
Dalam
Alquran Surat Al-Furqan, Allah telah berfirman,
“Dan Kami
hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan)
debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
Ibnu Katsir menjelaskan, ini merupakan
kejadian pada hari kiamat. Yaitu pada saat amal-amal dihisab oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Melalui surat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala
memberitahukan, bahwasanya amalan-amalan orang kafir dan musyrik tidak
menghasilkan apa-apa, berapa pun banyaknya. Karena amalan-amalan mereka itu
tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Belum cukupkah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
tersebut mendorong kita untuk mempelajari syarat diterimanya amal?
Amal ibadah akan diterima Allah
Subhanahu wa Ta’ala, jika memenuhi dua syarat. Pertama, Ikhlas. Artinya,
beribadah hanya kepada-Nya saja dan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak menerima satu amalan,
kecuali amalan yang diikhlaskan untuk-Nya dan untuk mencari wajah-Nya.” (HR. An-Nasa’i)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda,
“Sesunguhnya
amal itu tergantung niatnya.”
Dalam
hadis lain,
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa dan harta
kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan amal-amal kalian.” (HR. Muslim)
Masalah keikhlasan ini berkaitan dengan hati. Dan masalah hati
tidak bisa dipisahkan dengan niat. Perkara ini terkadang
banyak diremehkan oleh manusia, sehingga merasa tidak perlu lagi mengoreksi
hati. Tidakkah kita mengetahui, bahwa masalah ini dianggap besar oleh para
ulama salaf? Tengoklah yang dikatakan oleh Sufyan Tsauri, “Tidaklah aku
mengobati sesuatu yang lebih berat daripada niatku. Karena dia berbolak-balik.”
Itulah pandangan ulama salaf dalam
masalah hati. Masalah hati sangat mereka perhatikan ketika beramal. Sehingga
dalam sejarah perjalanan hidup mereka, kita mendapati berbagai macam usaha yang
mereka lakukan untuk menjaganya, dan menutup pintu masuk setan yang hendak
membelokkannya. Ingatlah, setan merupakan musuh orang-orang beriman. Dia tidak
akan pernah tinggal diam. Dia akan selalu berusaha dengan segala cara untuk
menggoda manusia, sehingga rusaklah amal.
Syarat kedua agar diterimanya amal seseorang, ialah
ittiba.
Artinya, amal ibadah itu harus sesuai dengan tuntunan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliaulah utusan
Allah yang diperintahkan untuk menyampaikan risalah-Nya. Sebagai utusan-Nya,
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan manusia
yang paling mengetahui tentang risalah-Nya. Dan semuanya sudah disampaikan oleh
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka sudah
seharusnya kaum muslimin mengikuti beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah berfirman,
“Katakanlah,
‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Ali Imran: 31)
Demikian itulah dua syarat yang
disimpulkan oleh para ulama dari banyak dalil, baik dari Alquran maupun sunah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedua syarat
inilah yang akan menentukan amal kita diterima ataukah ditolak. Jika salah
satunya tidak terpenuhi, maka tidak akan diterima. Jika persyaratan yang tidak
terpenuhi itu syarat yang pertama, maka si pelaku bisa terjerembab ke dalam
lembah kesyirikan, wal’iyadzubillah. Sedangkan jika yang tidak
terpenuhi itu syarat yang kedua, maka si pelaku masuk ke dalam perbuatan bid’ah
yang sesat.
“KIAMAT SUDAH DEKAT”
Salah satu prinsip keimanan
yang sangat pokok dalam agama Islam adalah beriman kepada Hari Akhir atau Hari Kiamat. Iman kepada Hari Kiamat sebagaimana kita
ketahui merupakan salah satu rukun iman yang enam. Keimanan kepada Hari Akhir
dan kebangkitan ini merupakan salah satu hal yang banyak ditolak oleh kaum
kafir. Adapun kita kaum muslimin, tanpa ragu sedikit pun kita beriman bahwa
Hari Kiamat pasti akan tiba dan terjadi. Kita beriman kepada Allah, kita
beriman kepada Rasulullah, kita beriman kepada seluruh perkara gaib yang telah
diberitahukan wahyu, baik melalui kalamullah maupun melalui
lisan Rasul-Nya yang mulia.
Hari Kiamat merupakan salah
satu perkara gaib yang telah dijelaskan secara gamblang, baik dalam ayat
Alquran maupun sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hal ini juga merupakan kesepakatan seluruh seluruh sahabat, ulama, dan kaum
muslimin. Maka sangat jelas bagi kita semua bahwa Hari Akhir ini apsti akan
terjadi tanpa ada keraguan sedikit pun, dan tidak ada yang meragukan atau
menentangnya kecuali orang-orang kafir, atheis yang berpaham materialis.
Masalahnya sekarang, “Kapankah Kiamat itu akan tiba?” jamaah sekalian! Jawaban
yang paling tepat untuk pertanyaan init idak lain adalah sebagaimana jawaban
yang diberikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
orang-orang, ketika mereka bertanya tentang kapan terjadinya Hari Kiamat.
Beliau mengatakan, “Ilmunya ada di sisi Allah” yakni ilmu tentang
kapan terjadinya Kiamat hanyalah Allah yang mengetahui. Allah Subhanahu
wa Ta’ala telah berfirman,
“Manusia
bertanya kepadamu tentang Hari Kiamat. Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan
tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah.’ Dan tahukah kamu hai
(Muhammad) boleh jadi Hari Kiamat itu sudah dekat waktunya.” (QS.
Al-Ahzab: 63)
Meskipun kejadian Hari
Kiamat adalah sesuatu yang gaib dan merupakan rahasia Allah, tetapi Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah memberitahukan kepada kita semua tentang tanda-tandanya. Dan kalau kita
mau mencermati tanda-tanda Hari Kiamat tersebut, maka kita semua akan sepakat
pada satu kesimpulan, yakni “Hari Kiamat Sudah Semakin Dekat.”
Asy-Syaikh Muhammad bin
Ibrahim at-Tuwajiri di dalam kitabnya Mukhtashar al-Fiqh al-Islami
menyebtukan tentang tanda-tanda Hari Kiamat dengan begitu sistematis. Beliau membagi tanda-tanda terjadinya
Hari Kiamat menjadi dua bagian, yaitu “asyrathus sa’ah as-Sughra”
yakni tanda-tanda kiamat yang kecil dan “asyrathus sa’ah al-kubra”
yakni tanda-tanda kiamat yang besar yang menunjukkan sudah sangat dekatnya
kiamat. Beliau lalu membagi tanda-tanda kiamat yang kecil menjadi tiga bagian:
Yang pertama yaitu tanda-tanda yang sudah terjadi dan telah berlalu, yaitu
berupa terbelahnya rembulan sebagaimana disebutkan dalam surat al-Qamar, lalu
diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan sekaligus wafatnya beliau, kemudian penaklukan Baitul Maqdis dan keluarnya
apai dari negeri Nejed.Yang kedua: Tanda-tanda yang sedang terjadi dan masih terus berlangsung, di antaranya adalah tersebarnya fitnah (kekacauan dan kemungkaran), munculnya orang yang mengaku nabi, diangkatnya ilmu dan tersebarnya kebodohan, kezhaliman terjadi di sana-sini, meratanya alat-alat musik dan anggapan halal terhadapnya, zina merajalela, banyak orang meminum khamar, orang-orang melarat saling berlomba membangun rumah dan gedung, membangun masjid hanya untuk bermegah-megahan, banyak terjadi pembunuhan, kemudian waktu terasa pendek, banyak terjadi gempa bumi, pasar-pasar dan super market saling berdekatan, urusan tidak diserahkan kepada ahlinya, keburukan mendominasi, kesyirikan menyebar di tengah-tengah umat Islam. Juga banyak terjadi kebohongan, pemutusan silaturahim, pengkhianat justru mendapat kepercayaan, orang tidak peduli lagi halal-haram dalam mencari rezeki, dan juga banyak wantia-wanita yang berpakaian tetapi telanjang.
Inilah di antara tanda-tanda kiamat yang saat ini telah disebutkan di dalam hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih, dan tentunya bukan melalui forum ini untuk menyebutkanny secara detail satu per satu. Yang jelas –jamaah sekalian- kita semua telah membuktikan sendiri bahwa apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkenaan dengan tanda-tanda terjadinya Hari Kiamat adalah benar adanya. Apa yang telah disebutkan di atas, kini telah menjadi fakta yang benar-benar terjadi pada masa ini, dan kita semua tidak mengingkarinya.
Yang ketiga adalah tanda Kiamat sughra yang belum terjadi dan akan terjadi, di antaranya yaitu: terjadinya penaklukan Konstantinopel dengan tanpa peperangan, kemudian kaum muslimin akan memerangi bangsa at-Turk, memerangi Yahudi hingga mendapat kemenangan, munculnya seorang laki-laki dari kabilah Qahthan yang mengajak manusia kepada ketaatan, lalu terjadi dominasi jumlah kaum wanita hingga seorang laki-laki berbanding dengan lima puluh wanita. Selain itu adalah munculnya al-Mahdi atau Imam Mahdi, lalu setelah itu akan terjadi penghancuran Ka’bah oleh seorang laki-laki dari Habasyah yang disebut dengan Dzu as-Sawiqatain, dan inilah akhir zaman yang menunjukkan sudah sangat dekatnya Hari Kiamat yang ditandai dengan munculnya tanda-tanda Kiamat Kubra.
“JANGAN
PERNAH TINGGALKAN SHALAT”
Di zaman yang
semakin dekat dengan hari akhir ini, kita menyaksikan suatu fenomena
memprihatinkan yang menimpa kaum muslimin, yaitu sebuah realita banyaknya orang
yang mengaku beragama Islam namun tidak memahami hakikat agama Islam yang
dianutnya, bahkan tingkah laku keseharian mereka sangatlah jauh dari
nilai-nilai Islam itu sendiri.
Di antaranya adalah banyaknya kaum muslimin di
masa sekarang yang mulai meremehkan dan menyia-nyiakan salat, bahkan tidak
sedikit dari mereka yang berani meninggalkannya dengan sengaja dan
terang-terangan. Padahal dalam Agama Islam, salat memiliki kedudukan yang tidak
bisa ditandingi oleh ibadah lainnya. Keistimewaan tersebut tergambar dengan
peristiwa isra’ dan mi’raj dimana Rasullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
menerima wahyu perintah salat. Setelah beliau sampai di Sidratul Muntaha, Allah
Subhanahu wa Ta’ala berbicara
langsung kepada Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam. Yang demikian itu menunjukkan bahwa betapa agung
kedudukan ibadah salat dalam Islam, karena ia adalah tiang agama, di mana agama
ini tidak akan tegak kecuali dengannya.
Dalam suatu hadis sahih
Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
“Pokok agama adalah Islam (berserah diri), tiangnya adalah salat,
dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.” (HR. At-Tirmidzi no.
26160).
Salat adalah ibadah yang pertama
kali diwajibkan setelah ikhlas dan tauhid, sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Dan
tidaklah mereka disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepadaNya dalam menjalankan agama dengan lurus, dan supaya mereka
mendirikan salat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang
lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Salat juga merupakan amal pertama
kali yang akan dihisab di Hari Kiamat kelak, seperti tersebut dalam hadis dari
sahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya
yang pertama kali dihisab dari amal seorang hamba pada Hari Kiamat adalah
salat. Apabila salatnya baik, maka ia telah berbahagia dan sukses, tetapi
apabila salatnya jelek, maka ia telah celaka dan rugi.” (HR.
At-Tirmidzi, no. 413)
Di samping itu, salat adalah wasiat
terakhir Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
kepada umatnya, sebagaimana telah diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwasanya ia
berkata,
“Wasiat
terakhir Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah ‘Kerjakanlah salat,
Kerjakanlah salat, dan tunaikanlah kewajiban kalian terhadap budak-budak yang
kalian miliki.” (HR. Ahmad, no. 25944)
Inilah gambaran agungnya kedudukan
ibadah salat dalam agama Islam yang kita anut. Alquran dan Sunah yang sahih
memberikan ancaman keras bagi orang yang meninggalkan salat. Dalam surat
Al-Mudatstsir ayat 42-43 Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman,
“Apakah
yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (Neraka)?” Mereka menjawab, “Kami dahulu
(di dunia) tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan salat.”
Lantas, apa hukum orang yang
meninggalkan salat?
Seluruh ulama umat Islam sepakat
bahwa orang yang meninggalkan salat karena mengingkari kewajibannya adalah
kafir. Namun kemudian mereka berbeda pendapat tentang orang yang meninggalkan
salat tanpa mengingkari kewajibannya. Di antara mereka ada yang berpendapat
bahwa ia telah kafir dan keluar dari Islam. Sementara yang lain menyatakan
bahwa hukumnya masih berada di bawah kesyirikan dan kekafiran.
Para ulama juga berbeda pendapat
tentang hukuman yang layak bagi orang yang meninggalkan salat. Sebagian mereka
berpendapat bahwa hukumannya adalah didera dan dipenjara, sedangkan yang lain
mengatakan bahwa ia harus dibunuh sebagai hukum had baginya, bukan karena
murtad.
Akan tetapi
jamaah sekalian, terlepas dari perbedaan pendapat para ulama tentang hukum dan
hukuman bagi orang yang meninggalkan salat dengan sengaja, hendaknya seorang
muslim merasa takut apabila keislamannya diperdebatkan oleh para ulama dengan
sebab meninggalkan salat. Meski seharusnya sudah cukup bagi kita untuk merasa
takut jikalau meninggalkan salat dikarenakan ancaman yang begitu keras dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala maupun dari
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Salat adalah
kebutuhan batin seorang hamba, layaknya makan dan minum sebagai kebutuhan
lahirnya. Sehari saja manusia tidak makan, maka badannya akan terasa lemas dan
tidak berdaya. Makan adalah hajat manusia dan penopang kesehatan badannya.
Kebutuhan jasmani terhadap makanan harus dipenuhi, sebagaimana kesehatan rohani
juga harus dipenuhi. Kebutuhan hati kita harus dipenuhi dengan banyak berdzikir
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
dan di antaranya adalah dengna mengerjakan salat.
Hadirin rahimakumullah
Perhatikanlah orang-orang yang
tidak salat! Hidupnya tidak mengalami ketenangan, meskipun secara lahiriyah
hidupnya kaya raya dan mempunyai harta yang berlimpah, namun mereka sama sekali
tidak mengalami ketenangan dan tidak juga kenyamanan. Berbeda dengan orang yang
salat, ia merasa tenang dan bahagia. Melaksanakan salat dapat menenangkan hati,
karena di dalam salat mengandung dzikrullah (mengingat Allah) dan itu mebawa
kepada ketenangan batin, sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Ketahuilah,
hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d:
28)
Jiwa orang yang
melakukan salat akan mengalami ketenangan dan akan mendapatkan thuma’ninah dalam hidup. Berbeda
dengan orang yang enggan salat. Hidupnya mengalami was-was, tidak tentang,
ketakutan, dan selalu diganggu oleh setan.
Tunaikanlah salat karena ajal
begitu dekat. Laksanakanlah perintah-Nya selagi amal masih dicatat. Segeralah
bertaubat sebelum pintu-Nya tertutup rapat. Jadilah hamba yang taat demi meraih
surga-Nya yang penuh dengan nikmat.
“SIFAT MUNAFIK”
Sungguh merupakan suatu hal
yang tidak bisa kita pungkiri hari ini, kenyataan pahit telah terpampang jelas
di hadapan kita, di mana kemungkaran, kemaksiatan, dan kemunafikan telah
menjamur di tubuh kaum muslimin. Sebagian di antara kita kaum muslimin, tidak
lagi menghiraukan nasihat serta petuah yang telah diwasiatkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sebagiannya lagi nekat menerobos dan
menerjang hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya dengan dalih tidak
selaras dengan akal dan pikiran manusia. La haula wala quwwata illa Billah.
Maka ketahuilah wahai kaum muslimin, bahwasanya menerobos dan
menerjang hukum-hukum Allah dengan dalih tidak selaras dengan akal dan pikiran
merupakan tanda-tanda kemunafikan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah
kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum rasul,
niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan
sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” (QS. An-Nisa: 61)
Ma’asyiral muslimin rahimaniy warahimakumullah
Ketahuilah, bahwasanya
kemunafikan merupakan sebuah parasit yang dapat merobohkan dan menghancurkan
pondasi keimanan seseorang, yang dengannya pula barisan kaum muslimin menjadi
porak poranda.
Allah tetap menyingkap tirai kemunafikan, serta mencela dan
menghinakan pelakunya.
Allah telah menyebutkan sifat-sifat mereka agar
hamba-hamba-Nya (yang beriman) dapat menghindar serta menjauh dari sifat
kemunafikan dan para pelakunya.
Imam Ibnul Qoyyim dalam
kitabnya, Madarijus Salikin, telah menjelaskan bahwasanya nifaq
(kemunafikan) ada dua macam: nifaq akbar (kemunafikan besar) dan nifaq
ashghor (kemunafikan kecil).
Dan dalam kesempatan yang mulia ini, sedikit akan kami paparkan
kedua macam kemunafikan ini dan sekaligus ciri-ciri dan sifat-sifatnya
Pertama: Nifaq
akbar (kemunafikan besar) atau lebih dikenal dengan nifak i’tiqodi
(munafik keyakinan).
Nifaq (kemunafikan) jenis ini
adalah sebuah kemunafikan yang dapat mengeluarkan seseorang dari keimanan. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka telah
beriman kemudian menjadi kafir lagi lalu hati mereka dikunci mati, karena itu
mereka tidak dapat mengerti.” (QS. Al-Munafiqun: 3)
Dan juga dalam Surat at-Taubah: 66, dimana Allah memvonis
orang-orang yang berada di barisan kaum muslimin akan tetapi mengolok-olok
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
“…Sungguh
kalian telah kufur setelah kalian beriman…”
Jamaah Jumat yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Di antara sifat-sifat kaum munafik dengan nifaq i’tiqodi
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan dan menjelaskannya di
dalam Alquran, ialah:
1. Mereka mengaku dan mengikrarkan keimanan
layaknya seorang mukmin, padahal hati mereka tidaklah seperti apa yang mereka
ucapkan.
Maka Allah pun menyibak apa yang ada dalam hati mereka dengan
firman-Nya,
“Dan di antara manusia
ada yang mengatakan, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,’ padahal
mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah
2. Mereka memiliki dua wajah dan dua lisan.
Allah berfirman,
“Dan bila mereka
berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, ‘Kami telah
beriman’ dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan,
‘Sesunggunya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok’.”
(Al-Baqarah: 14)
Dalam sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan selain keduanya, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menegaskan mengenai sifat mereka ini.
Dari Abu Hurairah radhiallahu’nhu bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya sejelek-jelek manusia adalah
yang mempunyai dua wajah di mana dia datang kepada mereka (kaum muslim) dengan
satu wajah dan keapda mereka (kaum munafik) dengan wajah yang lain.” (HR.
Bukhari 3494, dan Muslim: 2526)
3. Mereka mencegah dan mengahalangi manusia dari
jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah berfirman,
“Mereka itu menjadikan
sumpah mereka sebagai perisai lalu mereka menghalangi manusia dari jalan Allah
…” (QS. Al-Munafiqun: 2)
Maka sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghinakan
apa yang mereka perbuat dengan firman-Nya,
“…Sesungguhnya
amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-Munafiqun: 2)
4. Istihza (mempermainkan/melecehkan)
Allah, ayat-ayat, dan rasul-Nya.
Allah berfirman,
“Dan jika kamu tanyakan
kepada mereka tentang apa yang mereka lakukan itu, tentulah mereka akan
menjawab, ‘Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.”
(QS. At-Taubah: 65)
Mengenai Istihza terhadap Allah dan rasul-Nya, Allah Subhanahu
wa Ta’ala membantah perbuatan mereka dengan firman-Nya,
“Katakanlah, ‘Apakah
dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak
usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan
segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan
(yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.”
(QS. At-Taubah: 65-66)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
mengatakan, “Sesungguhnya Istihza kepada Allah, ayat-ayat, dan rasul-Nya
adalah sebuah kekufuran.”
Dan hal senada juga telah dikatakan oleh Syaikh Abdurrahman
As-Sa’di ketika menafsirkan ayat tersebut.
Jamaaah Jumat yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Inilah sebagian apa yang telah Allah kabarkan tentang keadaan dan
sifat-sifat mereka (kaum munafik i’tiqodi). Maka seyogyanyalah kita
terus berusaha menjaga diri kita dari sifat-sifat tersebut di atas agar kita
tidak terjerumus ke dalam kekufuran sebagaimana mereka telah terjerumus ke
dalamnya.
Perayaan Tahun Baru
dalam Islam
Segala
puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menciptakan segala sesuatu dan
menetapkan ketentuan atas seluruh makhluk-Nya. Dialah satu-satunya yang
menguasai serta mengatur seluruh alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa
tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para
sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti jejaknya hingga akhir zaman.
Saudara-saudaraku yang semoga dirahmati Allah Subhanahu
wa Ta’ala,
Marilah
kita senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kapan dan di
manapun kita berada. Karena dengan bertakwalah seseorang akan mendapatkan
pertolongan-Nya untuk bisa menghadapi berbagai problema dan kesulitan yang
menghadangnya. Begitu pula, marilah kita senantiasa merenungkan betapa cepatnya
waktu berjalan serta mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian yang kita
saksikan.
Bulan
demi bulan telah berlalu dan tanpa terasa kita telah berada di pengujung tahun
hijriyah. Tidak lama lagi tahun yang lama akan berlalu dan akan datang tahun
yang baru. Hal ini menunjukkan semakin berkurangnya waktu hidup kita di dunia
dan mengingatkan semakin dekatnya ajal kita. Maka sungguh aneh ketika
didapatkan ada sebagian orang yang justru bersenang-senang dengan berfoya-foya
dalam menyambut tahun baru. Seakan-akan dia tidak ingat bahwa dengan
bertambahnya hari, maka bertambah dekat pula saat kematiannya.
Di sisi
lain, perayaan tahun baru tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Bahkan hal itu justru merupakan
kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang orang kafir. Karena mereka
sebagaimana disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah orang-orang
yang tertipu dengan kehidupan dunia sehingga yang mereka bangga-banggakan
adalah kemewahan dunianya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan
tentang mereka di dalam firman-Nya,
“Dan
mereka (orang-orang kafir) berbangga-bangga dengan kehidupan dunianya, padahal
tidaklah kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, kecuali
hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (Q.s. Ar-Ra’d: 26)
Ayat-ayat yang semisal ini banyak disebutkan
dalam Alquran. Mengingatkan kita untuk tidak mengikuti akhlak orang-orang kafir
yang membangga-banggakan dunia. Yang demikian ini karena sifat
membangga-banggakan dunia akan menyeret pelakunya pada kesombongan dan
melalaikannya dari mengingat kematian dan beramal untuk akhiratnya. Oleh karena
itu wajib bagi kaum muslimin untuk meninggalkan kebiasaan mereka dalam
merayakan tahun baru hijriyah, karena acara tersebut bukan termasuk ajaran
Islam. Bahkan merupakan kebiasaan orang-orang kafir.
Saudara-saudaraku yang semoga dirahmati Allah Subhanahu
wa Ta’ala,
Adapun
yang semestinya dilakukan oleh seorang muslim terlebih di akhir tahun ini
adalah berupaya untuk melakukan interopeksi diri. Selanjutnya bertaubat kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala atas seluruh kesalahan yang telah dilakukannya
serta memohon ampun atas kekurangannya dalam menjalankan ketaatan kepada-Nya.
Di samping itu juga memohon pertolongan kepada-Nya untuk bisa istiqamah dan
senantiasa bertambah ilmu dan amal shalihnya. Begitu pula berusaha agar hari
yang akan datang senantiasa lebih baik dari yang sebelumnya, sehingga hidupnya
lebih baik dari kematiannya.
Ketahuilah
bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga bagi seorang muslim. Bahkan
lebih berharga dari harta dunia yang dimilikinya. Karena harta apabila hilang
maka masih bisa untuk dicari. Sementara waktu apabila telah berlalu tidak
mungkin untuk kembali lagi. Sehingga tidak ada yang tersisa dari waktu yang
telah lewat kecuali apa yang telah dicatat oleh malaikat. Maka sungguh betapa
ruginya orang yang tidak memanfaatkan waktunya apalagi jika dipenuhi dengan
kemaksiatan kepada Rabb-nya. Meskipun kehidupannya serba tercukupi dan
serba ada, namun apalah artinya kalau seandainya berakhir dengan menerima
siksaan api neraka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Maka
tentunya engkau tahu, jika Kami berikan kepada mereka kenikmatan hidup
bertahun-tahun. Kemudian datang kepada mereka azab yang telah diancamkan kepada
mereka niscaya tidak berguna bagi mereka apa yang mereka selalu menikmatinya.”
(Q.s. Asy-Syu’ara: 205-207)
Hadirin rahimakumullah,
Selanjutnya
perlu diketahui pula, bahwasanya tidak disyariatkan bagi kaum muslimin untuk
berdoa dengan doa khusus yang dikenal oleh sebagian orang dengan istilah doa
akhir tahun dan doa awal tahun. Karena hal ini tidak pernah dicontohkan pula
oleh suri tauladan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para sahabatnya. Sehingga tidak boleh bagi kita untuk mengamalkannya. Karena
kita harus mengingat bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan sejelek-jelek amalan adalah yang menyelisihi
petunjuknya.
Akhirnya,
mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan tahun yang akan
datang dan tahun-tahun berikutnya menjadi tahun yang penuh dengan keamanan dan
kesejahteraan. Mudah-mudahan kaum muslimin baik masyarakatnya maupun para
pemimpin bangsanya dimudahkan untuk semakin memahami Alquran dan As-Sunnah
dengan pemahaman para sahabat dan para ulama yang mengikuti jalannya serta
dalam mengamalkan keduanya.
Walhamdulillahi rabbil ’alamin.
Mengapa
Musibah Selalu Datang Menimpa Kita
Kaum
muslimin yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala
Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menjelaskan kesempurnaan qudrah-Nya, dan kesempurnaan hikmah-Nya, dan seluruh
perkara di bawah pengaturan dan pengawasan-Nya, baik itu kelapangan, keamanan,
kesempitan, dan ketakutan, semuanya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang Mahakuasa untuk mengaturnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Semua yang ada di langit dan bumi selalu
meminta kepadanya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (QS. Ar-Rahman: 29)
Maka semua ketetapan berjalan berdasarkan
hikmah dan keutamaan atau keadilan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala menzalimi siapa pun di alam dunia
ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan
tidaklah Kami menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka
sendiri.” (QS. Az-Zuhruf: 76)
Jamaah
kaum muslimin yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sesungguhnya kita beriman kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan qadar-Nya, dan bahwa iman kepada qodar Allah Subhanahu wa
Ta’ala adalah salah satu dari rukun iman yang enam, maka kita mengimani
bahwa semua yang menimpa kita baik kebaikan maupun kelapangan itu adalah nikmat
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang wajib kita syukuri dengan cara kita
mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala melaksanakan ketaatan
dan menjauhi larangan-Nya, maka tatkala itu, kita berhak untuk mendapatkan
janji Allah yaitu akan ditambahkan nikmat-Nya tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan
(ingatlah juga), tatkala Rabb kalian memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkati (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat peduh.” (QS.
Ibrahim: 7)
Jamaah kaum muslimin
Sesungguhnya semua yang menimpa manusia baik
kemadaratan dan kesempitan tidak lain hal itu karena kemaksiatan yang mereka
lakukan, juga karena kelalaian mereka dari melaksanakan perintah-perintah Allah
Subhanahu wa Ta’ala serta disebabkan mereka melupakan syariat-syariat
Allah. Allah mengabadikan hal itu di dalam kitabullah agar kita bisa
berhati-hati dan waspada.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan
apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan
tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu).” (QS. As-Syura: 30)
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga
berfirman,
“Apa
saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang
menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa: 79)
Jamaah kaum muslimin yang dimuliakan Allah
Sesungguhnya kebanyakan manusia pada hari ini,
mereka hanya mengaitkan musibah-musibah yang menimpa mereka, dengan
kejadian-kejadian alam semata, dengan faktor-faktor eksternal yang tidak ada
kaitannya dengan kesalahan mereka sendiri. Maka, tidak ragu lagi bahwa hal itu
karena kurangnya pemahaman mereka dan lemahnya keimanan mereka, dan juga karena
mereka lalai dari menadaburi kitabullah dan sunah-sunah rasul-Nya.
Jamaah kaum muslimin yang dimuliakan Allah
Orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Ketahuilah bahwasanya dibalik sebab-sebab dan
faktor alam tersebut, ada juga sebab-sebab syar’i bahkan hal inilah sebab yang
lebih dominan dan lebih kuat serta lebih membawa pengaruh dari terjadinya
musibah-musibah yang ada tersebut. Hanya saja memang terkadang sebab-sebab dan
faktor alam itu menjadi wasilah ataupun perantara dari sebuah ketetapan hukum
dari sebab-sebab syar’i. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum:
41)
Hanya saja, kita wajib bersyukur atas nikmat
yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada umat ini, dimana
umat ini tidaklah akan diadzab dan disiksa yang ditimpakan kepada umat-umat
yang terdahulu, umat ini tidak akan ditimpakan dengan suatu bencana yang merata
dan mematikan seluruh manusia, sebagaimana yang telah terjadi pada kaum ‘Aad,
tatkala mereka dihancurkan dengan badai angin topan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Yang
Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari
terus menerus; Maka kamu lihat kaum Aad pada waktu itu mati bergelimpangan
seakan-akan mereka tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk) maka kamu
tidak melihat seorang pun yang tinggal di antara mereka.” (QS. Al-Haaqqah:
7-8)
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak
menjadikan umat ini binasa seperti kaum Tsamud, mereka dihujani badai dan
disambar petir sehingga mereka di dalam rumah-rumah mereka menjadi bangkai yang
berserakan. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan umat ini binasa
seperti kaum Luth, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengirim kepada mereka
hujan batu dan langit, dan membalik bangunan-bangunan mereka yang atas menjadi
di bawah sehingga mereka hancur-lebur. Naudzubilla min dzalik.
Tunaikanlah Amanah
Kaum muslimin rahimakumullah
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah
dan meningkatkan ketakwaan dalam kehidupan kita. Khususnya di zaman yang banyak
cobaan dan ujian yang menimpa kaum muslimin umumnya dan negara kita khususnya.
Di
antara bentuk ketakwaan tersebut adalah menunaikan
amanah yang telah dibebankan kepada kita semua, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan amanah kepada kepada langit, bumi, dan gunung-gunung,
maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu amat zhalim dan amat jahil, sehingga Allah mengazab orang-orang munafik
laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyirikin laki-aki dan perempuan;
sehingga Allah menerima taubat orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan. Dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 72-73)
Amanah ini sebenarnya telah ditawarkan kepada
alam semesta, langit, bumi, dan gunung. Namun mereka semua takut memanggulnya
dan enggan menerimanya karena takut dengan azab Allah. Lalu amanah tersebut
ditawarkan kepada bapak kita Adam dan beliau menerimanya.
Ibnu Abbas menjelaskan pengertian amanah dalam
ayat ini, “Amanah adalah kewajiban-kewajiban, Allah tawarkan kepada langit,
bumi, dan gunung. Apabila mereka menunaikannya, maka mereka mendapatkan pahala
dan bila menyia-nyiakannya, maka mereka diberi siksa, lalu mereka menolaknya.
Penolakan tersebut bukan karena tidak taat kepada Allah, namun karena
mengagungkan agama Allah.
Wahai hamba Allah! amanah tersebut adalah beban
syariat yang mencakupi hak-hak Allah dan hak-hak hamba-Nya. Siapa yang
menunaikannya, maka dia mendapatkan pahala dan barangsiapa yang
menyia-nyiakannya, maka dia mendapatkan siksa dan adzab.
Siapa yang memiliki kesempurnaan sifat amanah,
maka ia telah menyempurnakan agamanya, dan siapa yang tidak memilikinya maka ia
telah membuang agamanya, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Al-Bazzar,
dan juga Ath-Thabrani dari hadis Anas bin Malik dan dinilai sahih oleh Syekh
Al-Albani dalam Sahih al-Jami’,
beliau menngatakan, Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak ada iman (dengan sempurna) bagi orang yang tidak memiliki amanah dan
tidak ada agama bagi orang yang tidak menjaga janjinya.”
Oleh karena itu, sifat amanah menjadi sifat
para nabi dan rasul. Perhatikanlah Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, ketika mengisahkan tentang Nabi
Nuh, Hud, dan Salih,
“Sesungguhnya
aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah
kepada Allah dan taatlah kepadaku.” (QS. Asy-Syu’ara: 107-108).
Demikian juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
menjelaskan, bahwa semakin berkurang sifat amanah, maka semakin berkurang juga
cabang keimanan, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dari hadis Hudzaifah
bahwasanya Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya amanah telah turun ke tengah hati
orang-orang, kemudian turunlah Alquran, sehingga mereka mengetahui Alquran dan
sunah. Kemudian Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang
hilangnya sikap amanah, ‘seseorang tidur sebentar lalu amanah di cabut dari
hatinya sehingga tersisa bekasnya seperti bercak kecil, kemudian tidur kembali
lalu dicabut amanah dari hatinya sehingga tersisa seperti lepuhan luka, seperti
bara api yang kamu tempelkan ke kakimu, lalu kaki tersebut terluka dan kamu
lihat ia melepuh dan tidak ada apa-apanya. Kemudian beliau mengambil kerikil
dan ditempelkan ke kaki beliau. Lalu orang-orang berbai’at namun hampir tak
seorang pun menunaikan amanah hingga diberitakan bahwa pada bani Fulan terdapat
seorang yang amanah, hingga dikatatakan kepada orang itu, ‘Alangkah sabarnya,
alangkah hebatnya dan alangkah berakalnya!’ Padahal di hatinya tidak ada sebiji
sawi pun dari iman.”
Demikianlah Allah mencabut sifat amanah dari
hati seseorang dengan sebab meremehkan kewajiban agama dan khianat terhadap
hak-hak orang lain. Sebagaimana Allah Subhanahu
wa Ta’ala firmankan,
“Maka
tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan
Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS.
Ash-Shaf: 5)
Dari
sini, jelaslah bahwa tauhid dan memberantas kesyirikan adalah amanah, amar makruf nahi mungkar adalah
amanah, harta adalah amanah yang tidak boleh dipakai untuk kemaksiatan, mata
kita adalah amanah yang harus dijaga dari memandang yang haram, dan seluruh
anggota tubuh kita adalah amanah yang harus dijaga dan dipelihara dari
keburukan dan kemaksiatan.
Wahai
kaum muslimin rahimakumullah
Demikian juga keluarga dan anak-anak, mereka
merupakan amanah yang harus ditunaikan dengan mendidik mereka dengan pendidikan
Islam, dan jangan dibiarkan hancur oleh globalisasi yang menerpanya.
Ingatlah
janji Allah kepada orang yang menunaikan amanah dan hak-haknya yang dijelaskan
dalam firman-Nya,
“Dan
orang-orang yang memelihara amanah-amanah (yang dipikulnya) dan janjinya, dan
orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah orang-orang yang akan
mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi Surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.”
(QS. Al-Mu’minun: 8-11)
Ingat juga dengan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam
hadis yang hasan,
“Berilah jaminan kepadaku enam perkara, niscaya
aku jamin bagi kalian surga; apabila salah seorang kalian berbicara maka jangan
berdusta, apabila berjanji jangan mengingkari, apabila diberi amanah jangan
berkhianat, dan tundukkanlah pandangan kalian, peliharalah kemaluan kalian
serta jagalah tangan-tangan kalian.” (HR. Ahmad)
Kaum muslimin
rahimakumullah
Perlu diingat oleh kita semua, bahwa
menyia-nyiakan dan tidak menunaikan amanah, memiliki implikasi buruk pada
keadaan seseorang dan dapat menjadi sebab kerusakan masyarakat. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah
ditanya tentang waktu kiamat? Beliau menjawab,
“Apabila amanah telah disia-siakan, maka
tunggulah kiamat.” (HR. Al-Bukhari).
Oleh
karena itu, bertakwalah wahai kaum Muslimin, peliharalah amanah dan tunaikanlah
hak-hak dan kewajiban seorang hamba serta jauhilah semua larangan Allah.
Beriman Kepada yang Ghaib
Marilah
pada hari yang mulia ini, kita senantiasa melakukan introspeksi diri dan
muhasabah terhadap amal-amal yang telah kita lakukan, baik yang kita lakukan
untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, untuk terus
kita tingkatkan, atau sebaliknya yang menjauhkan kita dari Allah, untuk
berusaha kita tinggalkan. Oleh karenanya, marilah kita senantiasa meningkatkan
mutu keimanan dan kualitas ketakwaan kita, sebab takwa adalah sebaik-baik bekal
yang dapat kita siapkan untuk menjemput akhir hidup kita yang telah ditetapkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
memberikan kabar gembira kepada kita dengan Firman-Nya,
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan
sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 97)
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah
Tentang beriman kepada yang ghaib, Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman di awal surat Al-Baqarah,
“Alif
lam mim. Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi merek
ayng bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan
salat, dan menafkahkan sebagian rizki yang kami anugerahkan kepada mereka. Dan
mereka yang beriman kepada Kitab (Alquran) yang telah diturunkan kepadamu dan
kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya
(kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunuuk dari Rabb
mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 1-5)
Di dalam
ayat yang mulia ini Allah menegaskan, bahwa salah satu dari sifat seorang
mukmin adalah bagaimana dia dapat mengimani hal yang ghaib, yaitu dengan cara
membenarkan segala yang telah dikabarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan Rasul-Nya mengenai hakikat sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala
atau hal-hal yang telah terjadi maupun yang akan terjadi; keadaan akhirat, hari
kebangkitan, surga, nereka, shirat, dan hari perhitungan, dan lainnya
dari hal-hal ghaib. Begitu juga tentang keberadaan jin; sebagaimana dikatakan
oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dan Ar-Rabi’ bin Anas dan juga Ibnu Mas’ud ketika
menafsirkan ayat ini.
Dan
termasuk bentuk keimanan terhadap hal yang ghaib, sebagaimana keyakinan dan
manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah, adalah meyakini bahwa yang mengetahui
yang ghaib hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan ini termasuk sifat Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang paling khusus, yang tidak ada seoarang makhluk
pun dapat menyamai-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua
yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui
apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur
melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam
kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering melainkan tertulis
dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Al-An’am: 59)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga
berfirman,
“Katakanlah
(hai Muhammad), ‘Tiada siapa pun, baik di langit maupun di bumi yang mengetahui
hal-hal yang ghaib kecuali Allah, dan mereka tidak mengetahui kapan mereka
dibangkitkan’.” (QS. An-Naml: 65)
Dan juga Firman-Nya,
“Katakanlah
(hai Muhammad), ‘Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa perbendaharaan
(rahasia) Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib, dan
tidaklah aku mengatakan kepada kalian bahwa aku ini malaikat, akut idak
mengikuti kecuali apa yangp diwahyukan kepadaku’.” (QS. Al-An’am: 50)
Ayat-ayat
ini sangatlah jelas, bahwa tidak ada yang mengetahui hal ghaib kecuali Allah;
tidak para nabi, tidak para malaikat, tidak para wali, dan tidak seorang pun
yang bisa mengetahui yang ghaib. Apabila ada hal-hal ghaib yang dikabarkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hal itu karena beliau telah
diberitahukan Allah, bukan berarti beliau mengetahui yang ghaib.
Maka
barangsiapa berkeyakinan bahwa dirinya atau orang lain bisa menguasai hal ghaib
atau mengetahui hal-hal yang ghaib, berarti dia telah kufur, karena hal ini
termasuk hal yang tidak pernah diberitakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
kepada siapa pun; tidak kepada para malaikat yang dekat dengan-Nya dan tidak
juga kepada para rasul yan diutus-Nya.
Bila ada
orang yang mengatakan bahwa hari kiamat akan terjadi tahun 2050 misalnya, maka
dengan sangat yakin kita katakan bahwa dia seorang pendusta. Dan begitu seterusnya.
Jika
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, yang merupakan hamba Allah yang
paling dicintai-Nya, tidak mengetahui hal-hal yang ghaib selain yang diwahyukan
kepada beliau, maka bagaimana dengan orang-orang selain beliau? Tentu mereka
pasti lebih tidak tahu. Bahkan dengan jelas dan terang beliau menafikan bahwa
beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Perhatikan Firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala berikut,
“Katakanlah
(hai Muhammad), ‘Aku tidak berkuasa mendatangkan manfaat bagi diriku dan tidak
(pula kuasa) menolak kemudaratan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya
aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya
dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi
peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang berian’.”
(QS. Al-A’raf: 188)
Ma’asyiral muslimin, rahimakullah
Adapaun
hal-hal ghaib yang dikabarkan oleh para nabi dan rasul, sebagaimana Nabi kita
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada umatnya
tentang tanda-tanda hari kiamat, tentang adanya surga dan neraka, tentang
adanya azab kubur dan nikmat kubur, dan juga rasulullah pernah memegang leher
Jin Ifrit ketika beliau diganggu oleh jin tersebut di dalam salatnya
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim, dan juga hal-hal yang ghaib lainnya,
maka yang demikian itu tiada lain hanyalah sebagai salah satu tanda kenabian
dan keistimewaan bagi beliau, dan hal ini hanyalah sebagai wahyu Ilahi, sebab
beliau tidak bertutur kata melainkan berdasarkan bimbingan wahyu dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“(Dia
adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada
seorang pun tentang hal yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhaiNya,
maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di
belakangnya.” (QS.
Al-Jin: 26-27)
Jamaah salat Jumat rahimakumullah
Namun
sangat disayangkan, masih banyak di antara kaum muslimin yang percaya
cerita-cerita khurafat, tahayul, mistik, dan cerita-cerita syirik jahiliyah.
Misalnya berkeyakinan bahwa ada di antara manusia yang dapat mengetahui hal
yang ghaib, bisa mengetahui nasib seseorang, mengetahui hal yang akan datang,
bisa melakukan penerawangan dan bahkan mengaku bisa melihat makhluk-makhluk
ghaib. Fenomena demikian terjadi di sekitar kita, apalagi dengan adanya sekian
banyak bentuk tayangan media, baik cetak maupun elektronik yang menggambarkan
cerita-cerita demikian, justru semua itu memperparah dan seolah-olah telah
melegitimasi bahwa yang demikian adalah benar, padahal justru sebaliknya,
keyakinan-keyakinan yang demikian adalah penyimpangan yang sangat berbahaya
terhadap akidah dan keyakinan seorang muslim.
Pada
dasarnya yang mereka lakukan itu tiada lain hanyalah tipu daya jin dan
propaganda setan untuk menggiring kaum Muslimin, agar jauh dari tuntunan
Alquran dan sunah, kemudian terjerumus ke lembah kesyirikan dan tenggelam ke
dalam lumpur kekufuran. Karena hal ini meruapakn perbautan menyekutukan Allah Subhanahu
wa Ta’ala dengan selain-Nya dalam perkara yang menjadi kekhususan Allah Subhanahu
wa Ta’ala, yaitu mengetahui hal yang ghaib.
Cobalah perhatikan ancaman Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berikut ini,
Dari Abu Hurairah
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda,
“Barangsiapa yang
mendatangi seorang dukun atau seorang tukang ramal, kemdian membenarkan apa
yang dikatakannya, maka dia telah kafir terhadap wahyu yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan oleh Ahmad no.
9252; At-Tirmidzi no. 135; Abu Dawud no. 2904; dan Ibnu Majah no. 639. Dan
disahihkan oleh Al-Albani).
Di
antara kita barangkali ada yang bertanya, “Kenapa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengafirkan orang yang datang dan membenarkan perkataan
seorang dukun atau seorang tukang ramal, padahal orang tersebut tidak
menyembahnya, tidak bersujud kepadanya, tidak ruku di hadapannya?”
Sebabnya adalah, karena orang tersebut telah
menganggap bahwa sang dukun atau tukang ramal tersebut mengetahui hal-hal yang
ghaib. Sedangkan meyakini bahwa ada yang mengetahui hal-hal ghaib selain dari
Allah adalah kufr, dan itulahs ebabnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengafirkan orang yang melakukannya.
Jamaah Jumat yang dirahmati Allah
Mudah-mudahan khutbah singkat ini dapat
menyadarkan kita kembali akan poin akidah yang haq ini yaitu, seorang
mukmin wajib beriman terhadap hal-hal yang ghaib, bahkan itulah salah satu ciri
orang-orang yang beruntung. Kemudian ingat pula bahwa tidak ada yang mengetahui
hal-hal yang ghaib kecuali Allah. Ini sangat penting untuk kita pegagn teguh,
karena klaim mengetahui yang ghaib telah tersebar luas di tengah kita atas nama
zodiak atau atas nama mencari jodoh, dan lain seabgainya.
Untuk kesekian kali khatib mengingatkan, tidak
ada yang mengetahui yang ghaib kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Motivasi Agar Segera
Bertobat
Jamaah
sekalian, bertakwalah kepada Allah, Rabb kalian, bertobatlah kepada-Nya
dari kemaksiatan dan kembali menuju ketaatan kepada-Nya. Kembali mendekat
setelah menjauh dari-Nya. Kembali dan menuju kesucian setelah bergelimang
dengan najisnya dosa. Sesungguhnya Allah mencintai orang yang bertaubat dan
orang-orang yang bersih lagi suci. Ketauhilah, bahwasanya Allah memerintahkan
kita untuk bertobat kepada-Nya. Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah
kepada Allah dengan taubatan nasuha (tobat yang semurni-murninya).
Mudah-mudahan Rabb-mu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke
dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (Q.s. At-Tahrim: 8).
“Dan
bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung.” (Q.s. An-Nur: 31).
Imam
muslim meriwayatkan dalam sahihnya, bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia, bertobatlah kalian kepada
Allah. Sesungguhnya aku bertobat kepada-Nya 100 kali dalam sehari semalam.”
Tobat dari dosa dan kemaksiatan merupakan suatu kewajiban berdasarkan perintah
Allah dan rasul-Nya.
Jamaah sekalian, sesungguhnya perbuatan dosa
dan kemaksiatan memberikan ke-mudharat-an yang banyak. Ia merupakan
sebab musibah, bencana, dan malapetaka. Allah berfirman,
“Dan
apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan
tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu).” (Q.s. Asy-Syura: 30).
“Maka
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah rasul takut akan ditimpa cobaan
atau ditimpa azab yang pedih.” (Q.s. An-Nur: 63).
“Dan
orang-orang yang kafir senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan mereka
sendiri atau bencana itu terjadi dekat tempat kediaman mereka, sehingga
datanglah janji Allah. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.” (Q.s.
Ar-Ra’d: 31).
Tidaklah kesengsaraan yang terjadi di dunia dan
akhirat kecuali disebabkan oleh dosa dan kemaksiatan. Apakah yang menyebabkan
kaum Nuh tenggelam dengan air yang menenggelamkan gunung?! Apa pula yang
menyebabkan kaum Hud ketika dibinasakan dengan angin, sampai-sampai mereka
bergelimpangan bak tunggul pohon yang kosong?! Apa pula yang menyebakan kaum
Tsamud dikirimkan suara yang memekakkan (petir) sampai-sampai jantung mereka
putus dari dada-dada mereka?! Apa yang menyebabkan dibalikkanya desa kaum Luth,
sehingga Allah menjadikan bagian atasnya ke bagian bawah kemudian mereka
dihujani dengan batu hingga mereka binasa tak bersisa?! Apa yang menyebabkan
Firaun dan kaumnya tenggelam?! Apa yang menyebabkan Qarun beserta harta dan keluarganya
dibenamkan?! Apa pula yang menimpa Bani Israil, berupa serangan suatu kaum yang
memiliki kekuatan besar yang merajalela di kampung-kampung Bani Israil,
kemudian Allah menakdirkan kaum tersebut datang untuk kedua kalinya, supaya
Bani Israil dibantai sehabis-habisnya?!
Sesungguhnya ‘ibadallah, sebab-sebab itu
semua adalah dosa dan kemaksiatan. Allah berfirman,
“Maka
masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka
ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada
yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami
benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan
Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang
menganiaya diri mereka sendiri.” (Q.s. Al-Ankabut: 40).
“Disebabkan
kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke neraka,
maka mereka tidak mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Allah.”
(Q.s. Nuh: 25)
Ayyuhal Muslimun, kita menyadari, tidak seorang pun yang ma’shum
bebas dari dosa kecuali orang-orang yang Allah jaga. Dalam Sahih Muslim,
dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Andaikata kalian tidak berbuat dosa, maka Allah
akan mengganti kalian dengan suatu kaum yang berdosa kemudian mereka bersegera
bertobat kepada Allah. Allah pun langsung mengampuni mereka.”
Dalam riwayat At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Setiap anak Adam pasti berbuat dosa, dan sebaik-baik
pelaku dosa adalah mereka yang bertobat.”
Dengan demikian Allah melapangkan pintu tobat
untuk mengabulkan tobat tersebut. Allah berfirman,
“Dan
Dialah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan
kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Asy-Syura:
25).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya Allah membentangkan tangannya di waktu malam, untuk
menerima tobatnya pelaku dosa di siang hari. Dan Dia juga membentangkan
tangannya di waktu siang, untuk menerima tobat pelaku dosa di malam hari. Hal
itu terus terjadi hingga matahari terbit dari sebelah Barat.”
Ayyuhal muslimun, sesungguhnya tobat adalah kembalinya
seseorang dari kemaksiatan menuju ketaatan. Dan syarat diterimanya tobat ada
tiga. Apabila tidak terdapat satu saja dari tiga poin ini, maka tidak diterima
tobatnya. Syarat tersebut adalah:
Seseorang harus berhenti dari maksiat yang ia
lakukan dengan cara segera meninggalkan perbuatan maksiatnya.
Menyesali perbuatannya. Tanda penyesalan
tersebut tampak dengan kesedihannya atas apa yang luput darinya.
Bertekat kuat selamanya tidak akan kembali lagi
kepada kemaksiatan tersebut. Tanda kebenaran tekatnya akan tampak dengan
mengisi dan memperbaiki hari-harinya dengan mengejar kembali apa yang ia
lewatkan dari perbutan ketaatan.
Apabila kemaksiatan tersebut berkaitan dengan
interaksi dengan orang lain, maka perlu ditambahkan syarat yang keempat, yaitu
mengembalikan sesuatu yang semestinya menjadi hak orang tersebut atau meminta
maaf pada orang yang pernah dizalimi.
Apabila melewatkan ibadah di masa lalu, maka
dapat ia qadha dan apabila menzalimi orang lain, maka tunaikanlah
haknya. Marilah kita semua bertobat kepada Allah ayyuhal muslimun dan
jangan menunda-nundanya. Ketauhilah, bahwasanya tobat dapat menghapuskan
dosa-dosa masa lalu, walaupun dosa tersebut adalah dosa besar. Karena Allah
Dia-lah Yang Maha Menerima Tobat dan Maha Penyayang. Allah berfirman,
“Katakanlah,
‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni
dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.’” (Q.s. Az-Zumar: 53)
Comments
Post a Comment